Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)
Saya akan mulai topik ini dari rasa lapar. Rasa lapar adalah suatu nikmat,
nikmat ketika kita bisa menghabiskan waktu bersama sahabat sambil bercengkrama
saat makanan tengah tersaji. Rasa lapar adalah suatu nikmat, ketika kita bisa
bersama dengan keluarga, menghabiskan menu sarapan, sembari bercerita rencana
indah hari ini.
Ada suatu kisah menarik tentang
rasa lapar, yang pernah saya alami. Lalu apa hubungannya lapar dengan
kesendirian?
“Eh, makan yuk? Aku belum makan dari pagi… Kamu kosong kan?” Kebiasaan anak
kos-kosan yang malas sarapan, dan sering membuat perut harus menahan lapar
hingga siang.
“Duh, aku mau ketemu sama dosen,
nih, jam 1. Kayaknya ngga cukup waktu deh, kalo makan dulu. Sama yang lain aja
yaaa. Maafin.” Sesaat kemudian saya mencari orang lain yang bisa saya ajak. Belum
lapar lah, baru saja makanlah, ngantuklah, dan lain-lain. Jawaban dengan alasan
yang bervariasi –namun merujuk pada satu
konklusi yang sama, tak ada teman makan- membuat saya harus berpikir siapa lagi
yang akan saya ajak. Alhasil, hari itu, karena rasa lapar yang amat sangat,
saya putuskan untuk makan sendiri.
Di sinilah letak hubungan rasa
lapar dengan kesendirian. Ya, yang lapar
kan perut saya sendiri, lalu kenapa saya harus bergantung dengan perut orang
lain untuk memuaskan nafsu makan saya? Ya, kalaupun ada yang sama-sama lapar,
tentu tak masalah. Saya tentu beruntung ada yang bersedia menemani.
Saya tambahin plot twist deh, biar agak
rame hehe. Saya ini kalo lapar punya kecenderungan untuk vertigo, atau perasaan
pusing berputar-putar. Kalo sudah berputar, mata pun ikut berkunang-kunang.
Nah, ketika sampai di tempat makan, saya langsung memanggil mas-mas karyawan. Khawatir
saya dilewatin, dan nggak segera dikasih menu. Oya, karyawan di situ ada yang
statusnya masih trainee, ada yang sudah tetap. Karyawan tetap memakai baju ijo,
seragam khas tempat makan itu, sedangkan karyawan trainee memakai baju putih
bawahan hitam.
“Mas.. Mas? Mas..?” Saya panggil salah satu mas-mas yang lewat. Masnya memang menggunakan kostum yang sama dengan karyawan trainee di sana, padanan kemeja putih dan celana hitam. tetapi, anehnya, mas=mas tersebut tidak segera menanggapi saya, sampai
saat masnya sudah mau naik ke tangga menuju lantai 2, saya teriak. “Masss!”
Saat itu masnya terbengong-bengong melihat saya.
“I..i..iya, kenapa mbak?” Masnya
berhenti sejenak.
“Saya belum pesen!” agak saya
kerasin suaranya, karena masnya sudah ditengah-tengah tangga, khawatir nggak
denger.
“Sa..sa..saya juga lagi makan di
sini, mbak…” DEG! Maluuuuu. Saat itu seakan semua pengunjung melihat ke arah
saya, dan di dalam hatinya sedang tertawa terbahak. “Cieeh, malu nih, ye.”
Saat itu, saya belum pesan, dan tentu
belum selesai makan. Nggak mungkin kan saya pulang meninggalkan tempat itu,
tetapi perut saya belum terisi? Mungkin, jika saat itu saya nggak sendiri, rasa
malu yang saya rasakan nggak akan begitu besar. Tapi, saat itu… Muka saya
langsung panas, gerah, dan tetiba vertigo saya hilang…..
Oke, saat itu ego saya bilang,
bodo amat. Setiap orang pernah merasa malu di dalam hidupnya, setidaknya sekali
seumur hidup. Saya sering kok melakukan hal-hal yang memalukan. Saat ini, yang
cukup membedakan adalah mengenai momen kesendirian saya saat itu, yang
terekspos oleh banyak orang.
“Waah, malu, tuh. Mana sendirian
lagi makannya. Kesian”; “Yaampun, aku mending pulang deh kalo jadi mbaknya itu.”
Sepertinya itu kalimat-kalimat yang akan berputar di kepala mereka. Yaudah gapapa
aiiisss~~. Ya, kesendirian bagi beberapa orang membuat tidak nyaman. Eh, maksud
saya, terlihat sendiri. Makan siang di tempat umum sendiri, berkunjung ke book
fair sendiri, atau belanja bulanan sendiri, kadang terlihat begitu menyesakkan
bagi orang yang ‘menyaksikan’.
Kata Dinda,
“Jangan mengukur
kebahagiaan seseorang dengan ukuran yang kita miliki. Setiap orang punya ukuran
yang berbeda.”
Ya, menurut saya, sendiri ketika di tempat umum, tidak masalah.
Kadang yang tersirat, di kepala orang lain adalah, “Emang dia nggak punya
temen, apa? Sampe ke sini aja sendirian.” Yaa, jangan ukur mereka seperti kau
mengukur dirimu sendiri sih. Barangkali mereka memang nyaman, dan bahagia
ketika sendiri. Pun mungkin mereka punya alasan, kadang sih alasan saya adalah
takut teman saya ada urusan lagi setelah kita pergi bersama, sedangkan saya
masih ingin berlama-lama di tempat itu, ataupun sebaliknya.
Banyak hal yang berkontribusi
dalam mindset, ‘jangan ke mana-mana sendiri’ ini. Misalnyaa…
- Dibilang
jomblo ngenes. Ya, sedih sih kalo dibilang jomblo ngenes. Loh, is, katanya kita
harus bangga kalo jomblo. Iya sih, jomblo, tapi nggak ngenes juga kali. Saya
mah bahagia bahagia aja.
- Dibilang
ngga punya temen. Nah ini, yang kadang menyesakkan. Kadang kita dianggap weird kalau ke mana-mana sendiri. Ya, tanpa banyak kasih contoh, tentu kalian sudah
pernah menge-judge orang yang kayak gini, meskipun tanpa sengaja.
Ada yang mau nambahin? Ini sih
beberapa yang saya rangkum (tapi cuma 2, hahaha) dari pendapat teman-teman.
Masalah kesendirian ini juga
terkait dengan hubungan, ataupun persahabatan. Kalo kata Pak Paulo Coelho, “When
you say yes to others, make sure you are not saying no to yourself.” Oke, di
sini saya tidak menekankan bahwa setiap manusia butuh waktu untuk sendiri.
Semua orang sudah tahu akan hal itu. Sekarang saya ingin menghubungkan ini
dengan permasalahan pertemanan. Terkadang, pertemanan atau persahabatan
(selanjutnya saya sebut sebagai persahabatan) memang mengizinkan kita untuk
memiliki waktu untuk kita sendiri. Tetapi, apakah semua persahabatan sudah
menyiapkan kita untuk bisa hidup sendiri?
Persahabatan yang baik adalah
persahabatan yang tidak membuatmu bergantung pada sahabat-sahabatmu pada setiap
waktu. Jika kamu selalu membutuhkan mereka setiap saat, barangkali
persahabatanmu sudah tidak sehat. Memang, sahabat yang baik, adalah sahabat yang
selalu ada setiap kita butuh. Tetapi, apakah mereka sudah pasti akan selalu ada
sampai kita mati? Tidak mungkin kan mereka memiliki nasib yang sama persis
seperti kita?
Siapkan sahabatmu untuk menjadi
kuat, bukan menjadi pribadi yang dependen akan keberadaan orang lain. Menurut
saya (dan Dinda selepas diskusi masalah ini), menjadi sahabat yang baik adalah
sahabat yang menyiapkan sahabatnya untuk mampu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya
dengan tangannya sendiri. Sahabatnya yang menyenangkan adalah yang sudah
mempersiapkan sahabatnya untuk membersamai kesendirian. Selamat malaaaam, eh
pagiii :)
Eh, saya masih hutang postingan bersambung yaa. Hehehe :D