Minggu, 24 November 2013

Masuk Neraka Siapa Takut #Banting Saja Pintunya Biar Ramai!

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini postingan giveaway pertama saya. Ingin ikut giveaway ini, karena judul giveaway-nya menarik sekali. Terkait dengan judul giveaway kali ini, memang lebih mudah melakukan amalan yang mengantarkan kita masuk neraka dibanding ke surga, Naudzubillahi min dzalik. Di postingan kali ini saya ingin membahas suatu kesalahan yang pernah saya lakukan, dan menurut saya ini adalah kesalahan yang sangat BESAAAR. Dan entah, apakah kesalahan ini bisa diampuni, wallahu’alam. Sekarang pun saya masih berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan itu, bahkan dalam bentuk yang ‘mini’ sekalipun.

Ini menyangkut dengan amarah, ya, amarah. Saya akui, satu kekurangan terbesar saya, yang masih sulit saya tangani adalah menahan amarah. Meskipun nantinya saya bisa saja minta maaf, tapi kan, orang yang saya marahi ini sempat terpapar oleh kemarahan saya. Kadang hal ini membuat saya sedih, dan menyesal, kepada begitu mudahnya saya marah. Lebih tepatnya kadang lebih mudah tersinggung, lebih peka, dan mungkin lebih mudah stres, dibanding teman-teman saya yang lain.

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
 Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 5763) dan Muslim (no. 2609).
Permasalahannya adalah jika amarah saya ini terkadang tumpah kepada orang yang tidak sepantasnya saya perlakukan seperti ini. Setelah saya melampiaskan amarah ini, saya menangis sejadi-jadinya. Saya benar-benar seperti telah melakukan kesalahan yang tidak akan pernah bisa ditebus oleh apapun. Yang membuat saya semakin menyesal adalah, permasalahan yang mendasari hal ini adalah permasalahan yang amat sangat sangat sepele.

Hari itu hari minggu, saat saya masih kelas dua SMA kalau tidak salah. Saat itu, saya sudah harus berpisah rumah dengan orang tua saya, karena saya bersekolah di luar kota, lebih tepatnya berbeda kabupaten dengan rumah saya tinggal. Siang itu, saya tengah mempersiapkan barang-barang, istilah kerennya packing, karena saya akan segera berangkat menuju kota tempat saya bersekolah saat itu. Seingat saya, waktu itu memang saya tengah ribet mengurusi berbagai masalah yang harusnya sudah saya persiapkan sebelum berangkat, tapi kenyataannya, belum selesai juga.

Adik pertama saya, laki-laki, saat itu membuka tempat pensil saya, karena Ia ingin meminjam pensil saya. Tetapi, karena kurang hati-hati, adik saya ini merusakkan tempat pensil saya yang memang dari sebelum dia pinjam sudah agak rusak dan saatnya diganti. Hanya, saat itu saya sangat sayang dengan tempat pensil itu, sehingga tak segera saya ganti.

“Mbak, ini tempat pensilnya.. rusak..” dia mengembalikan tempat pensil saya dengan muka memelas.

Saya diam menerima tempat pensil itu. Begitu saya melihat kondisi tempat pensil saya tidak bisa ditutup (yang rusak itu bagian resletingnya), saya langsung emosi, “Ini kok bisa begini, sih?! Ini tuh tempat pensil kesayangan mbak, tau..! Kamu emang bisa benerin resletingnya? Ini udah susah tau..” serta merta emosi saya meluap. Sepele, kan? Iya, sepele banget!

Seketika saya langsung menangis dan membanting tempat pensil saya itu ke lantai. Refleks. Dan asal tahu, tangisan saya ini tangisan yang benar-benar menyesakkan. Saya saja sampai sesak pas menangis saat itu. Perasaan saya adalah antara saya sedih, menyesal setelah saya memarahi adik saya ini. Tapi, tetap saja tempat pensil itu tidak bisa diperbaiki lagi, pikir saya saat itu.

 “Kamu tuh, kenapa marah-marahin adikmu?! Itu tempat pensilnya kan masih bisa beli lagi yang baru, nggak usah pake marahin adikmu kan bisa?” Ibu saya yang sedang menjahit celana adik saya yang robek akhirnya tidak mampu menahan emosi. Dan inilah saat paling menegangkan bagi hidup saya saat itu. Ibu saya menangis!

“Ya habis, ngapain dia ngerusakin tempat pensilku..! Itu kan.. tempat pensil kesayangan ku, ibu.. Ngga ada lagi tempat pensil yang sama kayak gitu..” sambil terengah karena saya sedang menangis dengan nada setengah membentak saya berbicara kepada ibu saya.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” (Al Isra’ : 23)
Tangisan ibu saya semakin keras. Saya pun juga semakin terisak. Jadi teringat, sebelum kejadian yang sangat menegangkan itu, sewaktu SD dan SMP saya sering marah kepada ibu saya karena hal sepele. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Dan yang saya lakukan saat itu adalah lari menuju kamar, dan segera membanting pintu kamar saya.

“Kurang keras, nduk! Kalau mau banting pintu yang keras sekalian biar tetangga bisa dengar!” Balas ibu saya. Saya belum sadar bahwa pada saat itu, ibu saya pun kecewa melihat saya bertingkah seperti itu. Apalagi saya sebagai anak pertama seharusnya memberikan contoh yang baik untuk adik-adik saya. Prosesi pembantingan pintu yang saya lakukan tidak terjadi hanya sekali dua kali. Sampai pada akhirnya saya bosan jika marah harus selalu membanting pintu. Tapi, tetap saja, ketika saya marah, saya akan menuju ke kamar, tapi tanpa membanting pintu. Konyolnya, yang saya lakukan adalah membuang barang-barang yang ada di meja ke lantai. Ya, tetap saja terdengar dari luar kamar kalau saya sedang marah.

Menyesal, menyesal sekali. Saya tega sekali kepada ibu saya saat itu. Akhirnya saya minta maaf, dan mohon ampun kepada ibu saya saat itu. Alhamdulillah saat ini saya masih berhubungan baik dengan ibu saya, dan masih berkesempatan bertemu dengan ibu saya di dunia. Ada hikmah juga dibalik kejadian ini, adik saya yang kedua, saat melihat saya marah dengan kondisi seperti itu, plus melihat ibu yang juga marah dan kecewa dengan perbuatan saya, dia jadi belajar. Apa yang tidak boleh, dan apa yang seharusnya dilakukan. Adik perempuan saya ini sangat sayang kepada ibu, dan jarang membantah ibu. Maafkan mbak ya dik, dulu belum bisa jadi contoh yang baik..

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Isra’ : 24)
Seperti penggalan ayat Al Isra’: 23, berkata ‘ah’ saja tidak boleh, apalagi ini. Malah marah-marah kepada orang tua, apalagi seorang ibu. Saya takut sekali dibilang sebagai anak durhaka, atau apapun itu, Naudzubillah. Saya akui, saat itu perkataan saya sebagai anak sangat melukai hati orang tua. Saat ini pun saya tengah belajar menahan amarah, dan menjaga kestabilan hati untuk tidak mudah meluapkan emosi.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36).
Bahkan pada ayat tersebut, perintah berbakti kepada orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama, yakni tauhid.

Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.’” (HR. Al Bukhari no. 5970).
Dari hadits tersebut bahkan perintah berbakti kepada orang tua lebih didahulukan dibandingkan dengan jihad di jalan Allah. Allah begitu mencintai umat-Nya yang berbakti kepada orang tua. Semoga saya masih berkesempatan untuk menikmati cinta Allah di jalan ini.. 


Sehat, Sakit, atau Mati?

Bismillahirrahmanirrahim
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang maka dipercepat tindakan hukuman atas dosanya (di dunia) dan jika Allah menghendaki bagi hamba-Nya keburukan maka disimpan dosanya sampai dia harus menebusnya di hari kiamat.” (HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
Alhamdulillah masih bisa posting lagi, hehe. Setelah sekian lama tidak posting. Memohon maaf pada diri sendiri karena target postingan yang seharusnya seminggu sekali tidak tercapai. Ya, bismillah, postingan pertama setelah sekian lama hibernasi, insya Allah bermanfaat (pada diri sendiri dan juga) untuk orang lain.


Kali ini saya ingin memposting tentang suatu hal yang bergolak di hati saya *aseek. Ya, belakangan saya tengah diberikan petunjuk yang luar biasa berarti, menurut saya, dan Allah memberikan petunjuk ini di saat yang tepat. Hem, sebenarnya lebih tepatnya Allah sudah sekian lama memperingatkan saya, tapi bodohnya saya, saya nggak sadar akan hal itu. Mesti diperingatkan dengan hal yang berat dulu, baru saya sadar. Semoga teman-teman tidak ada yang seperti saya, aamiiin.


Sudah membaca penggalan hadits di atas kan? Hadits ini saya baca di mushaf saya, di bagian bawah, di sebelah terjemahan surat yang tengah saya baca. Saya merasa hadits ini perlu diabadikan di blog saya hehe, biar selalu ingat maksudnya. Sudah mengait-kaitkan hadits ini dengan apa yang dialami teman-teman selama ini? Ya, hal pertama yang saya lakukan setelah membaca hadits ini adalah langsung mengingat selama ini saya merasa tengah diuji. Lalu, saya kaitkan dengan hadits ini. Sudah tenangkah hati, teman-teman? Insya Allah hati kita masih belum bukan hati yang sekeras batu ya.


Berkaitan dengan hati, saya pernah mendengarkan kajian tentang klasifikasi hati. Ada 3, yakni qolbun salim, qolbun maridh, dan qolbun mayyit. 

Yang pertama qolbun salim, atau hati yang sehat, “dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (Sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan-nya” (Al-Mu’minun: 60). Kalau dari catatan saya sih, hati yang seperti ini senantiasa berdzikr kepada Allah, beristighfar, berdoa, bershalawat kepada Rasulullah, Qiyamul Lail (ibadah ini susahnya..), dan lain-lain. Saya sendiri merasa belum sepenuhnya seperti ini, astaghfirullah…


Yang kedua qolbun maridh atau hati yang sakit. Hati seorang mukmin yang seperti ini biasanya masih memegang prinsip Islam, kok. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam keadaan hati yang seperti ini, yaitu
  1. Berlebihan dalam berbicara, bercanda (yuk, istighfar lagi, aiiss. Astaghfirullahal’adzim.)
  2. Berlebihan dalam memandang sesuatu (istighfar..)
  3. Berlebihan dalam makan (ayooo semuaa istighfaar!)
  4. Berlebihan dalam bergaul (astaghfirullahal'adziim..)

Dan masih banyak lagi berlebihan-berlebihan lainnya. Iya sih, pada dasarnya hati yang sakit ini masih memegang prinsip Islam, tapi ya masak mau kayak gitu terus, nggak sehat-sehat dong, ais.


Yang ketiga qolbun mayyit atau hati yang mati. Nah, ini nih. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan manusia yang seperti ini. Salah satu cirinya adalah melakukan dosa berkali-kali, terus makin lama makin banyak, dan nggak tobat-tobat. Huhu, naudzubillah. 
“….Katakanlah (Muhammad),”Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertobat kepada-Nya.” (Ar Ra’d: 27)
Tunggu, maksud dari ayat ini tidak sesempit itu. Maksud dari kalimat “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki..” itu tidak serta merta terjadi. Jika Allah sudah sampai menyesatkan orang tersebut, berarti memang sudah ada beberapa fase yang hamba ini lewati sebelum menjadi orang yang hatinya telah mati, dan pada akhirnya disesatkan olah Allah, ya contohnya, udah diingetin berkali-kali, teteeeeep ngga sadar, ujungnya disesatkan. Naudzubillah!
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai. (An Nahl: 108)
Naudzubillah.. Jangan sampai hati kita ada di golongan hati yang mati ya, teman-teman.. Ada beberapa ciri dari orang yang hatinya sudah mati ini. Antara lain, kufur nikmat, kufur aqidah, dan kufur amal. Oya, ada satu ayat yang menarik menurut saya terkait dengan hal ini
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar dari padanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 74)
Dari tafsir yang saya cari di internet sih, tidak akan ada gunanya memiliki hati yang keras, dan bahkan lebih keras dari batu. Hati itu baru akan memiliki manfaat ketika ia diruntuhkan. Bahkan makna yang lebih dalam adalah, ketika suatu hati diberikan pengajaran yang lunak, tapi ia tak jua luluh, maka palu godam azablah yang akan meruntuhkannya. Hukuman itu pasti akan datang, entah di dunia atau di akhirat, seperti hadits yang sudah sampaikan di pembuka postingan ini :)