Selasa, 31 Januari 2012

Ibu, BEM, dan HIDUP MAHASISWA!

Baju putih itu baru saja aku pakai tadi pagi hingga sore. Besok pun aku harus kupakai kembali dengan padanan rok yang sama. Hitam-Putih. Perasaanku jadi semakin kelabu dengan warna yang akan kukenakan dengan intensitas yang cukup sering di 2 hari ke depan. Hari-hari di mana aku masih disebut sebagai MAHASISWA BARU. Tentu saja, bukan hanya aku yang akan mengenakan ‘kostum maba’ itu. Istilahnya, sepanjang mata memandang, hanya warna kelabu itu yang akan menjadi santapan mataku, tentu saja selain batik, pakaian khas kakak-kakak yang sudah masuk di kampus ini sebelum kami.
“HIDUP MAHASISWA!” sesekali suara itu diteriakkan saat sepanjang pagi hingga siang, ketika penjabaran materi sedang berlangsung. Aku belum paham dengan kata-kata ‘hidup mahasiswa’ itu. Kenapa, dulu waktu aku masih menjadi siswa SMA, SMP, atau SD belum ada kata-kata penyemangat seperti itu. Ada lagi yang berbeda dari semangat kemahasiswaan ini. Adanya lagu yang ‘katanya’, setiap mahasiswa dari universitas apapun hafal dengan lagu ini. TOTALITAS MAHASISWA. Mungkin harusnya dulu juga dikenalkan dengan kata-kata ‘HIDUP SISWA!’ atau ‘HIDUP MURID!’ dan dibuatkan lagu penyemangat berjudul ‘TOTALITAS SISWA’.
“Kali ini akan dibacakan tata tertib untuk pelaksanaan masa Orientasi Mahasiswa 2011.” Kata seorang kakak di depan. Dengan rapi sudah kusiapkan catatan yang sudah kuhias dengan kalimat penyemangat di sela halamannya. Tetapi, tiba-tiba suara berubah. Hawa tegang merasuk ke dalam tulang-tulangku. Tiba-tiba waktu terasa begitu lambat mengalun. Yang kudengar hanya suara derap sepatu, dan kalimat yang terucap dengan volume yang sangat keras. Aku paksakan ragaku masih ada di sana, meski jiwaku dan pikiranku, mungkin sudah melayang ke tempat antah berantah.
Kutulis semua kata-kata yang diucapkan. Kata-kata penyemangat yang ada di sela halaman sudah bertumpuk dengan tulisan semrawut. Aku tak sempat mengambil kertas lain, sedangkan kertas itu sudah penuh dengan tulisan. Yah, aku paksakan menulis, meskipun aku sendiri tak bisa membaca lagi apa yang aku tuliskan saat itu. Yah, Ais, semangatlah, “HIDUP MAHASISWA” kataku dalam hati. Meskipun keringat dingin mengalir di ujung leherku, meskipun tegang dan anganku kemana-mana, kukuatkan tanganku menulis dan kakiku berdiri menegak di sana.
###
Mahasiswa. Selepas ospek, kata tambahan ‘baru’ di belakang kata mahasiswa sudah hilang. Kini saatnya aku mencari jati diriku sebagai mahasiswa. Di berbagai materi di ospek kemarin sudah dijelaskan, bahwa organisasi itu penting. Bahwa organisasi itu sangatlah diperlukan bagi mahasiswa. Meniru kata kakak-kakak, mau jadi mahasiswa kupu-kupu, atau kura-kura?
Teman, tahu arti kupu-kupu, kan? Bukan serangga dengan sayap indah yang sering berkeliaran di taman bunga yang aku maksud. Kupu-kupu adalah kepanjangan dari kuliah pulang, kuliah pulang. Wah bahagianya aku, jika seperti itu. Dulu semasa aku masih jadi murid SMA, sulit sekali rasanya pulang sekolah langsung pulang. Ada saja kegiatan, entah itu hanya main, les, ada kegiatan kelompok belajar, atau sesekali jika ada rapat di organisasi yang aku ikuti.
“Dek, gimana jadi mahasiswa?” tanya salah seorang kakak sepupuku, sebut saja Andi, ketika aku online di salah satu situs jejaring sosial.
“Gimana apanya, kak? Ya gitu lah, so so..”
“Looh, kamu harusnya mulai mencari, dek.”
“Mencari? Mencari apa, kak?” Otakku berputar, mencari ilmu? Ya iyalah. Mencari uang? Lulus aja belum gimana bisa cari uang? Ooh, mungkin dengan berwirausaha, ya bisa kucoba mungkin kak, jika ada waktu. Oh, aku tahu, mencari jati diri mungkin. Kalo itu sih pasti kak, ini lagi processing, bingung mau jadi kupu-kupu atau kura-kura, kataku dalam hati.
“Ya mencari jodoh laaah..” APA? MENCARI J-O-D-O-H?? Mahasiswa semester 1 sudah mau mencari jodoh? Aaargh, tidak. Ada-ada saja orang itu. Buktinya, kakak sepupuku itu tak dapat juga setelah lulus dari Universitas, yang berarti dia sudah bukan mahasiswa lagi tentunya. Dan setiap kali menghubungiku, selalu pertanyaan, “Adakah temanmu yang masih single?” terlihat di monitor atau terdengar di telingaku.
“Ya, makanya jangan ulangi kesalahan yang sama.” Saat kubilang bahwa dia saja yang sudah bertahun-tahun mencari tak dapat juga.
Aduuh, kupikir-pikir lagi nasihat itu. Cari jodoh? Tidak, aku bukan penggemar Wali, kak. Aku baru saja ingin mewujudkan esensi dari kata HIDUP MAHASISWA. Kalau aku justru mencari jodoh, lalu bagaimana aku bisa menghidupkan kalimat HIDUP MAHASISWA ini pada diriku sendiri?
“Ya, entar dulu lah, kak. Masih mau jadi mahasiswa dulu.”
Hidup Mahasiswa. Jika ada kalimat seperti itu, apakah berarti aku harus jadi politisi? Tiba-tiba tersirat gagasan itu setelah aku chat dengan kakak sepupuku. Apakah mahasiswa harus selalu menjadi barisan terdepan ketika ada permasalahan di kasta tertinggi di Indonesia ini? Selama ini, aku menganggap, permasalahan negara ini hanya dapat diselesaikan oleh pihak berwenang yang duduk di gedung megah dan menumpang mobil mewah itu.
“Mahasiswa selalu begitu. Mereka memang kritis, tapi, kadang harus ada pengendali semangat mereka yang menggebu-gebu. Tidak semuanya harus dilakukan dengan berdemo. Masih ada cara lain.” Kata ibuku ketika melihat berita di tv. Kebetulan aku mendengar kalimat ampuh itu diucapkan berkali-kali dengan tangan mengepal ke atas. Hidup Mahasiswa. Hidup Mahasiswa.
Mau ikutan BEM, Isti? kutulis pesan itu kepada temanku, Isti, yang dulu semasa SMA adalah penggiat salah satu organisasi besar di SMA. Sudah kutebak jawabannya saat itu. Pasti jawabannya IYA.
Drrt..rrt..rrt. Hapeku bergetar. Tetapi, bukan SMS dari temanku yang kudapat, melainkan dari kakak tingkatku. Hidup Mahasiswa! Kami dari BEM bla bla bla… dan seterusnya. Sekali lagi, kalimat itu diawali dengan kata HIDUP MAHASISWA.
Drrt..rrt..rrt. Hapeku kembali bergetar. Dari Ibu. Nduk, kamu belajar yang bener ya di sana. Kamu kuliah buat cari ilmu, ndak usah neko-neko yang kayak di tv. Kalau bisa ya ndak usah ikut macem-macem. Ibu dan Bapak selalu mendoakanmu dari sini. Air mukaku berubah. Baru saja ingin kuputuskan menjadi mahasiswa kura-kura, yakni kuliah rapat, kuliah rapat, tetapi, ada ganjalan lain yang harus aku hadapi. Dan itu berasal dari ibuku sendiri.
“Ndak usah ikutan demo, kalau ada demo. Belajar aja, ibu takut kamu kenapa-napa.” Iya bu, kataku. Mungkin kalau demo, unjuk rasa dan sebagainya, aku tak akan ikut. Karena aku sendiri juga takut. Takut diculik, takut dibacok.
“Kalau bisa ya ndak usah ikut macem-macem.” Bagai ada petir yang menggelegar di depan mataku. Degup jantungku menaik. Ibu, ingin kuteriakkan kalimat Hidup Mahasiswa di depan beliau, tapi tersendat di kerongkongan. Kupikir itu terlalu ‘lebay’.
“Aku insya Allah ikut BEM kok, Ais.” Jawaban itu mengalir dari mulut sahabatku yang memang aktivis itu. Yah, apa aku salah tanya orang? Aku benar-benar bingung saat itu. Haruskah aku ikut organisasi eksekutif yang ada di kampusku, atau kudengarkan nasihat ibu. Tapi, sisi hatiku melakukan pembelaan, Ibu kan bilang supaya aku ngga usah ikut yang macem-macem, BEM kan ngga macem-macem, kalo yang macem-macem itu yang suka nongkrong ngga jelas di kampus tanpa melakukan kegiatan yang bermanfaat dan berbuat maksiat. HIDUP MAHASISWA!
“Menurutku, bergerak itu ngga harus melalui BEM, kok, Ais. Masih banyak organisasi intra kampus lain yang bisa kamu ikuti kalau kamu memang merasa belum yakin di BEM. Kalo saya sih, nggak ikutan BEM, Ais. Saya lebih memilih organisasi keagamaan saja. Tapi, kalau Ais mau di BEM, dan memang berniat bergerak dan berdakwah di sana, ya ndak papa Ais, saya dukung.” Jawab Bagas, mantan ketua ROHIS, organisasiku yang dulu aku ikuti waktu SMA ketika kutanya pendapatnya tentang kegalauanku masuk BEM atau tidak. Aku semakin bingung dengan pendapatnya.
“Udaah, nyari jodoh aja dek. Susah amaat. Sekalian cariin aku jodoh. Hahaha..” kata kak Andi, ketika kulihat namanya di situs itu mencetuskan satu percakapan. Hiih, ini lagi. Yang diributin jodoh melulu.
“Iya, kak. Ini juga udah dapet kok. Tinggal nunggu 3 tahun lagi. Weeeek.” Jawabku, tak mau lama-lama menggalau soal jodoh dengannya.
“Haii Aiiss! Gimana, udah memutuskan untuk ikut BEM? Mau ikut yang fakultas atau Universitas?” Isti, temanku yang aktivis dan kebetulan sedang online itu menanyaiku.
“Belum isti, baru mendaftar. Yah, mungkin sekarang aku berusaha yang terbaik dulu buat seleksinya. Jika memang jalanku di organisasi itu, ya insya Allah, aku jalani. Tapi, kalau memang bukan, ya berarti emang ada organisasi lain yang membutuhkanku, is.” Kataku sok bijak. Tetapi, aku baru sadar, kenapa nggak kepikiran dari kemarin, sih?!
###
Tes tertulis sudah kulewati. Tinggal wawancara. Ini dia puncak kegalauanku. Aku paling gugup menghadapi tes wawancara. Apalagi sebelum hari H wawancara, tiba-tiba badanku kurang bisa diajak kompromi. Aku jatuh sakit! Aku langsung berpikir, “Ya Allah, apakah ini bentuk pelarangan dari-Mu untukku agar aku tak usah ikut BEM?”
“Susulan aja ya, dek. Aku udah bilang sama menterinya, kok. Nanti kamu ikut susulan wawancara ini, bareng sama yang lain, yang belum bisa ikutan juga.” Kata kakak tingkatku. Baiklah, mungkin dengan susulan, aku bisa mendapatkan hasil terbaikku. Dengan kondisi fisik yang lebih baik, mungkin hasilnya juga akan lebih optimal.
Wawancara aku hadapi dengan kikuk. Berkali-kali kegugupanku membuat sang interviewer menurunkan dan menaikkan suhu AC ruangan, “Adek gugup ya? Terlalu dingin ya, dek? Santai aja ya, dek.” Tidak hanya itu kesalahan yang aku buat, tidak hanya sekali kakak-kakak itu melontarkan pertanyaan yang sama hanya agar aku paham dengan apa yang mereka maksudkan. Karena kegugupanku, otakku hampir tak bisa mencerna kalimat dari mereka yang sebenarnya, padahal jika diungkapkan dalam kondisi biasa, akan berbeda kenyataannya.
Seminggu setelahnya, pengumuman pun ditempel. Karena aku memang sedang tidak berada di kampus, jadi aku tak bisa melihat langsung. Namun, kakak kosanku sudah melihat hasilnya. Meskipun dengan berat hati ia memberi tahuku hasilnya, karena sebenarnya dia ingin aku melihat hasilnya itu dengan mata kepalaku sendiri. “Tapi, ya sudahlah, dek. Aku kasih tau aja ya. Kamu, kamu, emm, lolos kok.” Haaah? Dengan jawabanku yang begitu ngawur pada saat wawancara? Ya, baiklah, mungkin inilah saat yang tepat untukku mengatakan HIDUP MAHASISWA!