Minggu, 13 Januari 2019

Bahagia - Menutup Internship


"Harap tanggal sekian - sekian - sekian pukul 14.00 seluruh peserta mengumpulkan tugas, dan absen beserta logbook berisi 400 kasus. Tanggal ....."

Baca jarkom rasanya udah deg-degan, dan kepikiran, banyak target yang belum kekejar, tapi waktu sangat sempit. Belum juga belajar buat ACLS bulan ini, emang itungannya aku nekat ikut bulan ini, mepet-mepet sekali dengan penyelesaian internship dan sangat berkaitan dengan deadline-deadline yang sudah kutunda berkali-kali (ini aja ngetiknya sambil bikin laporan, karena nyicil absen belum bisa soalnya absen ketinggalan di tempat rantau).

Tapi, kok rasanya bahagia ya? Enggak cemas? Ah karena internship mau usai kali, makanya senang?

Jujur, sebenarnya cemas juga, karena banyak target yang belum terselesaikan berkaitan dengan tugas internship. Tetapi, ada hal yang membuatku bahagia. Dua hari yang lalu, aku mendapatkan kabar yang cukup menenangkan dan menyenangkan hati. Apa sih, apa, apaaaaa.....??

Sepertinya aku belum cukup siap bercerita disini (wkwk setelah bolos 30 hari bercerita sekian hari). Aku hanya ingin mengingatkan diri, bahwa momentum itu terjadi beberapa saat sebelum tulisan ini dibuat. Rasanya bahagia, meskipun sampai ditanya berkali-kali oleh sang pemberi kabar, "Kamu seneng nggak?" Mungkin dia merasa responku tidak cukup terlihat bahagia. Tapi, sungguh, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku merasakan bahagia dan lega dalam 1 waktu yang sama.

Meskipun kemarin aku berbuat salah kepada sang pemberi kabar, dia tetep sabar, dan mau melanjutkan semua proses. Eh, beneran mau kan? Harus mauuuu.....


Memang benar, kata sang pemberi kabar kalau aku harus merenung. Tapi, sungguh, aku bahagia, meskipun belum terlihat cukup bagimu. "Aku seneng kok, seneeeeeeeng bangeeeeeet........ Bismillah semoga aku bisa berubah jadi lebih baik lagi."

Aamiiin. Aku lanjut ngetik laporan yah, sungguh senangnya hatikuuuuu.



Kamis, 03 Januari 2019

Day 2 - Apakah Aku Cukup Kuat?

Assalamualaikum!

Yeaah, memasuki hari kedua dalam upaya 30 hari bercerita. Hari ini mau cerita random saja ah. Sebenernya kemaren juga cerita random. Mungkin besok juga, atau bahkan besoknya lagi, hingga 30 hari tiba, wkwkw.

Di tahun 2019 ini, kehidupanku sepertinya semakin ruwet. Kurang bercanda kali, ya.

"Kadang tuh kita perlu serius dalam bercanda. Bener-bener bercanda maksudnya. Nggak ada niatan untuk bicara yang serius." Eh apa sih maksudnya?

Jujur, karena menghadapi dunia kerja (yang akhir-akhir ini terasa begitu nyata nuansanya di hati, halah) membuatku jadi punya pandangan yang berbeda dalam berbagai hal. Kemarin waktu jaga IGD shift siang, aku jaga dengan salah satu  senior yang dikenal sangat humble. Sampai aku tiba di suatu pembicaraan yang cukup serius, mengenai 'penjatuhan karir seseorang dengan sengaja'

"Saya beneran disalah-salahin. Dibilang suka terlambat, susah diajak bekerja sama dengan tim."
Waktu itu aku cuma jadi pendengar pasif, karena ada orang lain yang memang terlihat aktif mendengarkan, "Saya sampai dipanggil sama pemimpin direksi karena laporan salah seorang pekerja itu. Saya cuma mikir, wong ya dia suka kerja bareng di shift yang sama dengan saya, kok ya nggak ngerasain sendiri saya seperti itu atau tidak. Bisa dicek absennya dulu gitu, tanyain rekan kerja yang lain, apa iya saya sampai begitu."

Padahal yang aku rasakan selama bekerja dengan beliau, beliau ini orangnya ramah senyum, nggak pernah menjatuhkan orang lain, dan sangat mau membantu orang lain, kesannya tulus gitu. Itu juga bukan aku doang yang bilang, beberapa rekan kerja setim juga setuju dengan sifat beliau yang ini.

Apakah dunia kerja sekejam dan sejahat itu? Kalau kata beliau sih, kenapa sampai beliau diperlakukan seperti itu, karena pada saat itu adalah fase dimana pengejaran 'jabatan' untuk orang yang seangkatan dengan beliau. "Saya nggak pernah punya ambisi buat gimana-gimana. Ya makanya sampai sekarang di saat mereka sudah ada di jajaran direksi, ya sudah saya mah di tatanan sini-sini aja."

Hmm... apakah benar-benar akan seperti itu? Apakah aku yang polos ini bisa melaluinya? Apakah aku cukup kuat?




Rabu, 02 Januari 2019

Sepertiga Setahun Kemarin "Menjelang Akhir Internship"

Assalamualaikuum!

Wah, sudah setahun saya tidak menulis blog. Sepertinya sudah semakin kaku tangan dan jiwa ini untuk menuliskan isi pikir. Salah satu revolusi (why? salah kali! bukannya resolusi?) 2019 saya adalah kembali menulis. Senangnya ketika kembali menulis adalah saat menumpahkan cerita hari ini, atau hari-hari sebelumnya, dan menjadi kenangan yang membahagiakan ketika membacanya kembali. Baik itu kenangan yang sedih atau kenangan yang menyenangkan. Eh, kenapa kenangan yang sedih malah membahagiakan? Karena hatiku senang, aku sudah pernah dan mampu melalui masa terberat dalam hidupku! 😊                                                                                                           

Oiya sekedar informasi, aisyah sudah hampir selesai melewati fase internship! Hehe, loh sudah selesai tho koasnya?! Iya dong! Kemana ajaaaa...

Iya, gara-gara nggak pernah nulis jadi begini deh. Maafkan aku blogku.. Sesungguhnya ini sedang minta maaf kepada diri sendiri, karena jadinya tidak pernah ada momen yang diingat dan direfleksikan melalui tulisan selama beberapa tahun terakhir. Bagaimana deg2annya menghadapi ujian akhir menjadi dokter, dan masa-masa menunggu sebelum akhirnya internship, dan sekarang tiba di masa internship sudah mendekati usai. 

Baiknya aku mulai dari mana dulu? Tujuannya adalah untuk mencatat memori yang lalu dan pernah dialami, jadi nggak sepi amat hidupku ini, udah ngga pernah baca, nulis pun nggak pernah 😕

Yaa di masa internship yang tadinya aku nggak berharap ini ada, lalu kini berubah menjadi rasa terimakasih, karena ternyata pengalaman yang cukup banyak muncul ketika fase ini. Menghadapi hiruk pikuk tanggung jawab dunia kerja yang mulai terasa nyata.

Jadi masa internship itu akan dijalani selama 1 tahun, dan akan dialami oleh semua dokter umum fresh graduate. Ndak tau sih kalo ada yang ndak ngalamin, tapi setahuku peraturannya kita harus melewati itu dulu untuk selanjutnya menjadi 'dokter beneran'. Loh sekarang nggak dokter beneran tho? Hmm, selama internship kita belum dapat STR (Surat Tanda Registrasi) definitif, namun dapat STR internship, yang menandakan kita masih internship. Lalu selain itu, kita baru dapat SIP (Surat Izin Praktek) di dua tempat khusus kita internship, jadi kita belum boleh praktek selain di dua tempat internship kita. Jadi menurut temen-temen gimana tuh? Dokter beneran nggak?

Nah kita dapat dua tempat praktek itu di mana saja? Jadi selama 1 tahun internship, kita akan mengalami 3 stase, yang pertama IGD, bangsal (rawat inap), dan puskesmas. Untuk urutannya bisa diputar-putar, karena tergantung dengan kelompok internship, jadi satu gelombang internship (kita singkat aja jadi iship yaa) akan dibagi 3 kelompok untuk mengisi rotasi 3 bagian tersebut. Mari kita mulai cerita dari sudut pandangku yaa.

Aku kebagian rotasi pertama di rawat inap, alias bangsal. Selama 4 bulan pertama internship, kami (aku dan rekan sekelompok) akan ditugaskan berjaga di ruangan rawat inap. Kami bertanggung jawab untuk mengatasi kegawatan atau keluhan-keluhan pasien yang sudah 'turun' ke ruangan, pasien-pasien ini bisa berasal dari mana saja. Bisa dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) atau dari poliklinik spesialis. Nggak seperti di sinetron-sinetron atau drama 'bilang aja putus' (nama samaran) yang masuk rumah sakit tiba-tiba langsung masuk ke ruangan rawat inap, sudah diinfus dan bla-bla. Atau positive thinking aja yaa, mereka skip episode pas di IGD-nya (rata-rata karena kecelakaan atau pingsan). 

Banyak hal yang dilalui, mulai dari desas-desus kamar jaga dokter adalah bekas ruangan rawat inap yang horor. Tapi, selama di sana sih, tidak kutemui adanya kebenaran dari desas desus itu. Alhamdulillah tidur nyenyak, meskipun kadang harus siap bangun malam jika ada telepon dari ruangan rawat inap. Kalau dari segi kasus medis, yaa, banyak hal yang aku dapat selama menjalani tugas di sini. Mulai dari kegawatan karena ada pasien yang henti nafas, apalagi malam hari, dan harus siap-siap tenaga untuk resusitasi jantung dan paru, dalam rangka mengembalikan fungsi tubuh dari pasien itu agar tetap hidup. Yaa, nggak jarang juga berakhir dengan sedih, karena kehendak Allah yang kemudian terjadi. Bagaimana melatih diri memberikan "bad news" kepada pasien dengan cara yang baik, namun juga tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk. Kita hanya menjanjikan upaya yang maksimal, sisanya, tetap Allah yang menentukan. 

Nggak cuma kasus medis sih yang menarik. Kadang ada kasus psikiatris yang memang cukup menyedihkan, dan kadang membuatku sebagai pihak ketiga merasa iba. Di tempat kami iship, istilah gangguan jiwa bagi para warga adalah istilah yang sangat tabu, dan bisa jadi membuat hilangnya trust dari keluarga kepada para tenaga medis. Keluarga pasien bisa akan sangat marah ketika tahu bahwa pasien ini direkomendasikan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater. Padahal sebenarnya pada dasarnya mungkin pasien ini butuh konseling untuk kesehatan jiwanya. Oiya, gangguan jiwa bukan semata-mata hanya berputar pada gangguan jiwa yang oleh orang awam kadang disebut sebagai 'gila', di dunia medis, bisa kita sebut skizofrenia, di mana ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis seseorang dengan gangguan jiwa macam ini. Gangguan kecemasan berlebih, gangguan penyesuaian diri, juga termasuk gangguan jiwa loh, eh tapi ini kita bahas di lain kesempatan aja yaah.

Yang ingin aku bahas untuk pembahasan kali ini adalah sepertiga waktu selama setahun kemarin. Menjalani hari-hari yang cukup stressful, karena pada akhirnya bruxismku kembali kambuh. Duh-duh apa itu bruxism? Bisa baca di sini yaa, belum sempat jelasin hihi.

Namun, di sini, aku ternyata belajar banyak. Menjadi dokter itu nggak semudah bayangan. Ada banyak aspek yang perlu dipelajari, yang tidak hanya berkaitan dengan ilmu saja, tapi berkaitan dengan aktualisasi diri ke masyarakat. Ada kasus lain yang menarik. Ada seorang anak usia 13 tahun, mengalami kejang. Lalu kemudian singkat cerita, aku menduga anak ini mengalami epilepsi. Namun, demi pemeriksaan lebih lanjut, pasien ini perlu dirujuk ke dokter spesialis saraf, untuk pemeriksaan penunjang, misalnya elektroensefalografi atau EEG untuk memeriksa gelombang otaknya. Namun si ibu bersikeras untuk membawa anaknya ke paranormal, karena beliau merasa anaknya ini 'ketempelan'. Dari sekian banyak pemeriksaan yang aku dapati memang ada kelainan dari segi medis, jadinya kubujuk ibu ini untuk tetap menjalani proses medis dalam mengobati anaknya. Dan pada akhirnya, ibu ini setuju untuk menjalani proses tersebut, alhamdulillah.

Belajar banyak hal untuk tetap memberi pasien informasi yang berhak pasien ketahui, agar bisa mengambil keputusan yang logis, dan sesuai dengan kebutuhan pasien, bukan kebutuhan dokter saja. Duuh acak adut ya tulisankuu... Tapi nggak papa ais, besok-besok perbaiki lagi ya. Mungkin 30 hari bercerita bisa jadi titik tolak memperbaiki blog ini. Tetap semangat menulis, Ais!