Sabtu, 30 Mei 2015

Membersamai Kesendirian


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

Saya akan mulai topik ini dari rasa lapar. Rasa lapar adalah suatu nikmat, nikmat ketika kita bisa menghabiskan waktu bersama sahabat sambil bercengkrama saat makanan tengah tersaji. Rasa lapar adalah suatu nikmat, ketika kita bisa bersama dengan keluarga, menghabiskan menu sarapan, sembari bercerita rencana indah hari ini.

Ada suatu kisah menarik tentang rasa lapar, yang pernah saya alami. Lalu apa hubungannya lapar dengan kesendirian?
“Eh, makan yuk? Aku belum makan dari pagi… Kamu kosong kan?” Kebiasaan anak kos-kosan yang malas sarapan, dan sering membuat perut harus menahan lapar hingga siang.
“Duh, aku mau ketemu sama dosen, nih, jam 1. Kayaknya ngga cukup waktu deh, kalo makan dulu. Sama yang lain aja yaaa. Maafin.” Sesaat kemudian saya mencari orang lain yang bisa saya ajak. Belum lapar lah, baru saja makanlah, ngantuklah, dan lain-lain. Jawaban dengan alasan yang bervariasi  –namun merujuk pada satu konklusi yang sama, tak ada teman makan- membuat saya harus berpikir siapa lagi yang akan saya ajak. Alhasil, hari itu, karena rasa lapar yang amat sangat, saya putuskan untuk makan sendiri.

Di sinilah letak hubungan rasa lapar dengan kesendirian. Ya,  yang lapar kan perut saya sendiri, lalu kenapa saya harus bergantung dengan perut orang lain untuk memuaskan nafsu makan saya? Ya, kalaupun ada yang sama-sama lapar, tentu tak masalah. Saya tentu beruntung ada yang bersedia menemani.

Saya tambahin plot twist deh, biar agak rame hehe. Saya ini kalo lapar punya kecenderungan untuk vertigo, atau perasaan pusing berputar-putar. Kalo sudah berputar, mata pun ikut berkunang-kunang. Nah, ketika sampai di tempat makan, saya langsung memanggil mas-mas karyawan. Khawatir saya dilewatin, dan nggak segera dikasih menu. Oya, karyawan di situ ada yang statusnya masih trainee, ada yang sudah tetap. Karyawan tetap memakai baju ijo, seragam khas tempat makan itu, sedangkan karyawan trainee memakai baju putih bawahan hitam.

“Mas.. Mas? Mas..?”  Saya panggil salah satu mas-mas yang lewat. Masnya memang menggunakan kostum  yang sama dengan karyawan trainee di sana, padanan kemeja putih dan celana hitam. tetapi, anehnya, mas=mas tersebut tidak segera menanggapi saya, sampai saat masnya sudah mau naik ke tangga menuju lantai 2, saya teriak. “Masss!” Saat itu masnya terbengong-bengong melihat saya.
“I..i..iya, kenapa mbak?” Masnya berhenti sejenak.
“Saya belum pesen!” agak saya kerasin suaranya, karena masnya sudah ditengah-tengah tangga, khawatir nggak denger.
“Sa..sa..saya juga lagi makan di sini, mbak…” DEG! Maluuuuu. Saat itu seakan semua pengunjung melihat ke arah saya, dan di dalam hatinya sedang tertawa terbahak. “Cieeh, malu nih, ye.”
Saat itu, saya belum pesan, dan tentu belum selesai makan. Nggak mungkin kan saya pulang meninggalkan tempat itu, tetapi perut saya belum terisi? Mungkin, jika saat itu saya nggak sendiri, rasa malu yang saya rasakan nggak akan begitu besar. Tapi, saat itu… Muka saya langsung panas, gerah, dan tetiba vertigo saya hilang…..
Oke, saat itu ego saya bilang, bodo amat. Setiap orang pernah merasa malu di dalam hidupnya, setidaknya sekali seumur hidup. Saya sering kok melakukan hal-hal yang memalukan. Saat ini, yang cukup membedakan adalah mengenai momen kesendirian saya saat itu, yang terekspos oleh banyak orang.
“Waah, malu, tuh. Mana sendirian lagi makannya. Kesian”; “Yaampun, aku mending pulang deh kalo jadi mbaknya itu.” Sepertinya itu kalimat-kalimat yang akan berputar di kepala mereka. Yaudah gapapa aiiisss~~. Ya, kesendirian bagi beberapa orang membuat tidak nyaman. Eh, maksud saya, terlihat sendiri. Makan siang di tempat umum sendiri, berkunjung ke book fair sendiri, atau belanja bulanan sendiri, kadang terlihat begitu menyesakkan bagi orang yang ‘menyaksikan’.

Kata Dinda, 
“Jangan mengukur kebahagiaan seseorang dengan ukuran yang kita miliki. Setiap orang punya ukuran yang berbeda.” 
Ya, menurut saya, sendiri ketika di tempat umum, tidak masalah. Kadang yang tersirat, di kepala orang lain adalah, “Emang dia nggak punya temen, apa? Sampe ke sini aja sendirian.” Yaa, jangan ukur mereka seperti kau mengukur dirimu sendiri sih. Barangkali mereka memang nyaman, dan bahagia ketika sendiri. Pun mungkin mereka punya alasan, kadang sih alasan saya adalah takut teman saya ada urusan lagi setelah kita pergi bersama, sedangkan saya masih ingin berlama-lama di tempat itu, ataupun sebaliknya.
Banyak hal yang berkontribusi dalam mindset, ‘jangan ke mana-mana sendiri’ ini. Misalnyaa…
  1. Dibilang jomblo ngenes. Ya, sedih sih kalo dibilang jomblo ngenes. Loh, is, katanya kita harus bangga kalo jomblo. Iya sih, jomblo, tapi nggak ngenes juga kali. Saya mah bahagia bahagia aja.
  2. Dibilang ngga punya temen. Nah ini, yang kadang menyesakkan. Kadang kita dianggap weird  kalau ke mana-mana sendiri. Ya, tanpa banyak kasih contoh, tentu kalian sudah pernah menge-judge orang yang kayak gini, meskipun tanpa sengaja.

Ada yang mau nambahin? Ini sih beberapa yang saya rangkum (tapi cuma 2, hahaha) dari pendapat teman-teman.
Masalah kesendirian ini juga terkait dengan hubungan, ataupun persahabatan. Kalo kata Pak Paulo Coelho, “When you say yes to others, make sure you are not saying no to yourself.” Oke, di sini saya tidak menekankan bahwa setiap manusia butuh waktu untuk sendiri. Semua orang sudah tahu akan hal itu. Sekarang saya ingin menghubungkan ini dengan permasalahan pertemanan. Terkadang, pertemanan atau persahabatan (selanjutnya saya sebut sebagai persahabatan) memang mengizinkan kita untuk memiliki waktu untuk kita sendiri. Tetapi, apakah semua persahabatan sudah menyiapkan kita untuk bisa hidup sendiri?

Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang tidak membuatmu bergantung pada sahabat-sahabatmu pada setiap waktu. Jika kamu selalu membutuhkan mereka setiap saat, barangkali persahabatanmu sudah tidak sehat. Memang, sahabat yang baik, adalah sahabat yang selalu ada setiap kita butuh. Tetapi, apakah mereka sudah pasti akan selalu ada sampai kita mati? Tidak mungkin kan mereka memiliki nasib yang sama persis seperti kita?

Siapkan sahabatmu untuk menjadi kuat, bukan menjadi pribadi yang dependen akan keberadaan orang lain. Menurut saya (dan Dinda selepas diskusi masalah ini), menjadi sahabat yang baik adalah sahabat yang menyiapkan sahabatnya untuk mampu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan tangannya sendiri. Sahabatnya yang menyenangkan adalah yang sudah mempersiapkan sahabatnya untuk membersamai kesendirian. Selamat malaaaam, eh pagiii :)

Eh, saya masih hutang postingan bersambung yaa. Hehehe :D

Rabu, 27 Mei 2015

Seperti Hujan (lagi)

Tadi aku kehujanan. Deras sekali.

Tahu, kan? Belakangan kau tak membasahi bumi kami, lalu, seketika kau turun.
Sekali lagi, di saat aku melaju.

Hujaaaaaaaan.
Teriakku. Aku ingat, memang tak boleh mencela hujan.
Maafkanku jika sebelumnya aku sempat protes padamu.
Maafkan aku hujan.

Tapi, tadi kau turun sangat sebentar. 
Tahukah kau? Kau turun di saat aku melaju, dan itu hujan terderas yang pernah aku lalui, tanpa atap.
Aku tak berpelindung selain mantelku yang sudah sobek di bagian lengan.
Tak ayal, kaosku, jilbabku, bahkan rokku ikut-ikutan basah, dan hanya dalam waktu sebentar, aku harus menggantinya semua.

Hujan, aku tak bermaksud mencelamu.
Aku hanya rindu, ketika kau datang, dan beritahu aku sebelumnya.
Rinai kecil yang turun bersama-sama, sebelum kau memaksa kami untuk berlindung.
Kata temanku, kau indah karena kau tak pernah turun sendirian.

Tapi, tadi deras sekali. 
Tapi, kau turun sangat sebentar.
Tapi, kau membuatku harus mengubah semuanya, mengulang semua dari awal.
Tapi, aku suka aroma tanah setelah kau hilang. Petrichor.
Setidaknya, setelah kau hilang, aku masih bisa berharap, kau akan hadir kembali membasahi bumi kami.

Hujan, semoga kita bertemu lagi yaaa. Ya, kau yang seperti hujan.

PS: postingan ini saya tulis karena saya begitu menyukai hujan dan beberapa hal yang menyertainya. Plus, hari ini saya benar-benar kehujanan. Oya, saya masih hutang postingan bersambung, lain kali ya. Sampai jumpa! Selamat Malam :)

Senin, 25 Mei 2015

Naik Naik, ke Puncaak (1)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Postingan kali ini saya akan bercerita pengalaman [pertama] saya naik gunung eh bukit Sikunir di Dieng, Wonosobo. Tadinya saya dan teman-teman yang mau naik itu cuma tiga orang, dan itu perempuan semua, canggih kan, dan rencana yang hanya direncanakan dalam waktu seminggu itu tetiba banyak peminat, jadilah kita beramai-ramai berangkat ke Sikunir Dieng. Sebelumnya saya mau menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya pendaki asal Yogyakarta beberapa waktu lalu, semoga khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, aamiin..

Ya, lanjut, pada beberapa hari sebelumnya, saya sudah berencana memang pengin naik ke Sikunir, tapi bareng adik laki-laki saya yang konon katanya anak pencinta alam. Tapi karena dia tahu saya ringkih, kayaknya dia berusaha untuk menolak ajakan saya, trauma kayaknya. Dulu (waktu SD) saya pernah diajak naik sepeda sampe sekitar 2 kilo aja saya nyerah *maapin dhek*. Tapi saya tetep nekat, dan nanya. “Kalo ke Sikunir persiapan apa aja yang harus mbak lakuin? Perlu lari ampe 3 bulan nggak?” Gokil kan saya, soalnya katanya emang naik gunung itu susah dan capek.. Mana saya ngga begitu kuat kalo latihan berbau kardio gitu..

“Hmm, ngga usah ngapa-ngapain kalo ke Sikunir doang mah kuat. Ayo mbak kalo mau ke Prau aja. Eh, tapi aku udah ke Prau ding. Ke Slamet aja mbak, deket Purwokerto, kan.” Buseeeet, da aku mah apa atuh dhek, kapasitasku mah belum kayak kamu yang udah kuat jalan kaki naik-naik ampe beberapa jam buat ngejar sunrise di puncak. Apalagi Gunung Slamet kan tertinggi kedua di Pulau Jawa….

Ternyata rencana saya ini mendapat sambutan dari kawan karib saya, Fathia, sehingga terwujudlah rencana ini. Wanita yang sangat suka mbolang baik ke dalam maupun luar negeri ini ngajakin saya ke Sikunir, yeeaay! Tadinya saya sempet mikir ngga bisa ikut gegara mau ambil data penelitian, tapi setelah cek jadwal, ternyata bisa haha, sama Ukhti Mayubu akhirnya kita kepikiran berangkat, Senin, 27 April 2015. Awalnya saya pikir, fix bertiga dan kita tinggal cari cara gimana nyampe ke Wonosobo, selain motor. Wonosobo-Purwokerto gempor lah ya kalo ukhti-ukhti seperti kami naik motor. Risiko kehujanan, kedinginan, ban bocor, bahkan isu begal di mana mana jadi ancaman. Akhirnya kita berencana mengajak kawanan kos-kosan putri lain yang free dan bisa ikut, jadi kita bisa nyewa mobil gitu nyampe wonosobo. Lumayan biar mahal dikit, tapi kan aman. Temen saya yang lain, si Reza ngotot naik motor. “Udah biasa aku mah, bolak-balik purwokerto-kebumen naik motor.” Bro, ini Wonosobo Brooooo! BEDA!

Saya sebagai rider putri yang sudah terdidik dengan jalur purwokerto-kebumen (baca Ku Lari Ke Bukit, Ada Pantai Menganti!) berulangkali ngotot kalo naik motor itu risiko-nya banyak. Tetep aja rencana itu dia sikapi dengan yakin. Apalagi dia rencana mau nginep di tenda. Pasukan kita kebanyakan putri, brooo. Dieng dingin lagi… Mana kita amatir semua hiks..

Rencana naik motor ternyata tidak terealisasi, karena kita buat pasukan gabungan dan bisa naik mobil. Alhamdulillah mobilnya punya temen sendiri ngga jadi nyewa, jadi lebih irit. Supir juga pake tenaga sendiri, jadi lebih irit lagiiii. Rencana nginep di tenda juga nggak jadi haha, nginep di penginapan lebih nyaman ternyata. Kita menginap di losmen Bu Djono yang ada fotonya di internet, haha. Ada bulenya juga di sana *terus kenapa is, buset*.

Perjalanan ke wonosobo terdiri dari dua mobil, yang satu mobil city car yang muat untuk 5 orang, alhamdulillah, yang satunya semi minibus gitu (soalnya kursinya cuma dua baris), dan dimuat-muatin buat bawa 6 orang. Nasib saya sebagai orang yang kurus-kurus gembrot ini naik barengan sama 3 orang ukhti yang lain empet-empetan di mobil semi minibus. Nasib, gantian gitu, kalau saya nyender, Fathia maju, kalo saya maju, Fathia yang nyender. Gituuuu terus, dan perjalanan berangkat ini kami ngikut di belakang mobil Daniel, yang di dalamnya ada Reza, Mayubu, Agus, sama Tipung. Awalnya agak bingung, kok jalannya beda sama jalan yang biasa saya lalui kalo ke wonosobo. Ternyata kita lewat KARANGKOBAR, yakni tempat longsor Banjarnegara Desember lalu. Di sana masih ada bekas longsor beserta garis polisinya, jalan yang tinggal separuh dan langsung ke jurang, apalagi jalannya naik-naik. Agak mual, mual, vertigo gitu saya. Dari mobil Daniel, si Agus pake akun Reza nanya di grup, “Ais aman?” khawatirnya saya muntah. Haha, karena saya terkenal gampang mual kalo grogi mau ujian jadi  gini nih.   

Jalur panjang yang kami lewati gegara GPS hape barunya Reza, membuat kami baru sampai di penginapan jam 6 sore. Padahal berangkat jam 2 siang dari purwokerto *cry*. Nyampe di sana dingin-ngantuk-laper. Nggak mandi, langsung sholat, beberes, makan, foto-foto, dengerin rute wisata buat besok dari pengurus losmen, tidur. Di sana kita sewa 3 kamar, per kamar 75 ribu, dan kalau per kamar lebih dari dua orang, kita harus pakai extrabed dengan biaya tambahan 50 ribu. Tapi kita bisa lobi lagi jadi cuma pesen 2 kamar extrabed plus 1 kamar biasa.

Di Losmen Bu Djono ini lumayan enak, makanannya. Saya pesen soto di sana, dan enak bangeet. Porsinya banyak juga kok, lumayan dingin-dingin jadi anget. Hehe. Di sana kita juga dapet tips buat trip wisata keliling dieng. Sebenarnya kita dikasih peta sama pengurusnya, tapi nggak sempet saya potoin. Jadi tripnya itu dari losmen kita berangkat pagi jam 4 ke Sikunir. Sholat Subuh di masjid menuju destinasi, bisa jamaah juga. Tapi ya air wudhunya dingin-dingin es gitu. Setelah itu kita lanjut perjalanan dan parkir di parkiran deket tulisan Sikunir. Setelah itu perjalanan naik bukit itu dimulai. Lumayan masih agak gelap langitnya. 5 menit pertama naik, ngos-ngosan. Tipung (anak pencinta alam yang tentu sudah terbiasa) dan Daniel ngikutin saya sama Nurul dan Fathia yang udah agak ngos2an di belakang. Dorongan dari (ayahanda) Reza kepada kami bertiga yang ngos-ngosan ini membuat kami semakin ngos-ngosan (?). Beberapa menit selanjutnya makin ngos-ngosan. Akhirnya saya putuskan, "Udah laah, aku liat sunrisenya dari sini ajaaaaa..." *tears*

foto ini didapat dari perjalanan ke Puncak Sikunir *taken by Fathia*
Haruskah lanjuut ke ataaas? Udah pegel ini napas, eh kaki....

Senin, 18 Mei 2015

Mencintai Harapan

Gadis itu datang lagi, menawarkan sekilas cerita.
Ia mengawali ceritanya dengan senyum di wajah, lalu berkata, "Aku mengaguminya!"
Aku tak menjawab, hanya mengernyit tanda aku bertanya, "Bagaimana bisa?"

Aku heran dengan gadis ini, tak pernah sekalipun ia bertegur sapa dengan lelaki itu, tapi dengan semangat Ia selalu menceritakan lelaki itu. Itu cukup membuatku menyimpulkan, bahwa Ia tengah jatuh cinta.

"Bukan, ini bukan cinta. Kamu tahu, kan, aku belum pernah mencintai siapapun. Aku hanya kagum saja." Lalu ia kembali tersenyum. Tapi, sungguh, senyumnya kali ini begitu terlihat bahagia.

"Kan kamu selalu bilang, jangan lupa bahagia ya. Sekarang aku bahagia, hanya dengan mengaguminya."

Lelaki itu bukan kerabat, bukan sahabat, bukan pula teman sejawat. Sama sekali tak ada akses antara dia dengan sosok yang Ia ceritakan. 

"Dia bukan artis korea, kan?" Iseng aku mencubit lengannya sambil bertanya hal konyol itu.
"Bukaaaaanlah. Nggak mungkin aku sekagum ini sama artis korea. Kelasnya beda. Dia itu kalem, dan nggak pernah senyum."

"Terus? Kamu suka karena dia nggak pernah senyum?"
"Iiiiih, ya gitu deh pokoknya."

Sebulan kemudian Ia datang, namun ceritanya berubah.
"Kamu masih senyum-senyum sama lelaki dingin itu?" Aku menyebutnya dingin karena Ia bilang lelaki itu tak pernah tersenyum. 
"Nggaaaaak. Dia mah buang ke laut aja kaliiii."
"Kenapa?"
"Dia udah pindah, jadi aku ngga bisa ketemu lagi. Hahaha." Ia masih tertawa bahagia. Aku berasumsi, Ia pasti punya sosok lain.
"Jadi, sekarang sama siapa?"
"Sama yang suka duduk di bangku kayu di depan taman kampus. Setahu aku dia single, hehe."

***

Kisah tadi hanya kiasan. Betapa ketika harapan masih ada, begitulah hati sangat terbuka untuk mengharapkannya. Terkadang, cinta, suka, atau apapun itu (yang sejenisnya, hehe) bisa terus tumbuh seiring terbukanya harapan. Lain cerita jika harapan itu hilang, cinta, suka atau apapun itu, bisa hilang perlahan. Saya garis bawahi, hilang perlahan, tidak secepat ketika rasa itu datang. 

Terkadang, kami hanya menikmati masa-masa kami mencintai seseorang, atau katakanlah mengagumi. Kami (atau cuma beberapa orang saja) baru menyadari ketika rasa itu hilang. Karena, ketika kita mencintai (atau menyukai) bukan seseorang itu yang membuat hati ini begitu bahagia. Tetapi, rasa bahagia dari diri sendiri, yang muncul ketika kita menyukai seseorang. Ya, kita bahagia bukan hanya karena kita menyukai orang itu, tetapi kita bahagia karena kita memiliki rasa suka pada seseorang. *paham nggaaak?*



Kamis, 14 Mei 2015

Ku Lari Ke Bukit, Ada Pantai Menganti!



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh :)

Kali ini saya mau berbagi cerita pengalaman luar biasa, ini agak latepost banget sebenernya. (sudah 3 bulan berlalu). Pengalaman ini adalah pengalaman yang sudah mendidik saya menjadi rider sejati *hahahaha*. Ya sebenarnya kisah ini bermula dari KKN yang wajb dijalani oleh mahasiswa dan mahasiswi Unsoed sebagai syarat pengabdian ke masyarakat *ceileh*. Awalnya, saya pengin banget daftar KKN di wilayah yang dekat dengan Purwokerto, tempat saya bernaung selama ini. Udah nunggu pendaftaran sampe kuota untuk daerah Purbalingga bisa dibuka, nggak dapet juga. Sampe saya pantengin SIA biar dapet momen-momen emas dibukanya kuota Purbalingga yang kadang cuma nambah 1 orang. Lagi asik-asiknya pantengin SIA saya kebelet buang air kecil. Ditinggal pipis sebentar, beneran ini sebentar banget, tahu-tahu kuota nambah 1, dan itu artinya kuota nambah dan langsung ada yang daftar. Ibuuuuk *tepok jidat*. Oke, saat itu saya putuskan untuk nggak kebelet lagi. Eh, maksudnya saya nggak akan milih Purbalingga. Kelamaan, keburu pendaftaran KKN ditutup.

Begitulah prolog cerita ini, dan akhirnya saya membuat keputusan untuk KKN di Kebumen aja. Jalur Purwokerto-Kebumen cukup membuat saya jadi rider sejati, wkwk. Motor supra saya emang tahan banting berkat jalur ini. Naik, turun, balapan sama kendaraan berat nan besar (karena jalur ini merupakan jalur yang rutin ditempuh untuk perjalanan Pwt-Jogja). Pernah, di hari pertama KKN saya harus ke Purwokerto-Kebumen Kota (ini memakan waktu 2 jam) terus balik lagi ke Kecamatan Ayah, untuk memenuhi undangan pembukaan di Kabupaten, lanjut pembukaan lagi di kecamatan Ayah. *ternyata ini masih prolog*. Ini jalur yang kami tempuh, puter2, kaaaan? Gimana nggak jadi rider.

Perjalanan Mengelilingi Kebumen, ini judulnya.


Ya, saya KKN tepatnya di desa Demangsari, kecamatan Ayah, yang lebih deket dibanding kecamatan Buayan, Kecamatan Ayah ini dikenal dengan banyak Pantai, ada Pantai Logending/Ayah, Pantai Menganti, Pantai Pecaron, Pantai Srathi, Pantai Karang Agung, waaaaaah banyaaaaak. Tapi saya cuma sempat ke salah dua dari sekian banyak pantai itu. Sekian banyak pantai itu punya medan yang sulit. Ada yang harus naik bukit terus ketemu pantai, ada yang harus jalan kaki dengan track yang nggak gampang dan tantangan lain. Tapi pemandangannya cakeeep :)

Di hari kesekian KKN, saya dan teman-teman memutuskan untuk jalan-jalan liat sunrise ke Pantai Menganti. Dasar saya nggak mau subuhan di jalan, takut jadinya malah nggak sholat subuh, kita baru berangkat jam setengah lima. Itu pun setelah saya ngotot dulu sama temen KKN karena nggak mau dibonceng laki-laki. "Pokoknya yang bawa harus cowok. Jalurnya serem, aiiiss." Saya tetep ngotot, hehe, saya ngaku pernah ke menganti dan tau jalurnya kayak gimana. Memang dulu pernah ke sana waktu rihlah Rohis, tapi naik angkot. Toh saya nggak boong kalo tau jalurnya kayak gimana. Mereka menyerah dan membiarkan saya bawa motor sendiri, tapi agak-agak gimana gitu.

Ini perjalanan kedua yang memaksa saya jadi rider sejati. Jalurnya, masya Allah. Untung saya nggak ngebonceng orang jadi masih bisa menguasai jalan. Tapi di perjalanan saya ke menganti untuk kedua kalinya saya mboncengin ukhti Nidi, dan lumayan kuat ternyata motor saya. Meskipun harus pakai gigi 1 terus. Jalur menganti ini, kita harus naik-naik ke bukit, dan baru setelah itu kita bisa liat pantai. Ohiya, ada biaya kalau mau masuk ke sini, sebenarnya per orang 5 ribu. Tetapi pada saat kami datang ke sana, masih sangat pagi, plus bukan hari libur. Jadi kami bebas melenggang masuk, karena ngga ada yang jaga pintu masuk. Di perjalanan ke Menganti saya yang kedua dengan motor *karena waktu itu hari minggu, dan sudah sangat siang*, barulah peristiwa 'ditarikin' biaya masuk itu ada.
ini Pantai Menganti di lihat dari atas, ini bisa kita liat saat perjalanan.

Setelah kita turun di dekat pantai, yang ada di foto di atas, ternyata kita naik lagi ke bukit yang lain. Pemandangan di sana lebih indah katanya.Tetapi, karena kita kesiangan, jadi sunrisenya agak-agak gimana gitu hehe. Foto-foto yang saya punya cuma sedikit, tapi ini ada salah satu pano yang diambil bersama rekan satu kelompok KKN yang berbahagia :)
dari kiri: Radit, Hanif, Zulfan (Pak Kormades), Aisyah Apriliciciliana, Gestari, Aisyah Aulia (saya), Hesti, Nurlyta, Yosua, Rilo
evakuasi
Perhatikan!
Ohiya, tambahan, sekitar 2 hari sebelum kami KKN di Kebumen, ada berita duka terkait dengan Pantai Menganti ini. Ada Mahasiswa KKN dari kampus lain yang juga KKN di Kebumen hilang di Pantai Menganti. Beritanya bisa dicek di sini. Hilangnya juga di bawah bukit kami berdiri ini lho. Jadi, teman-teman yang mau ke sini hati-hati. Perhatikan setiap larangan yang ada, dan patuhi yaa :)

Minggu, 10 Mei 2015

Jangan Terlalu


X : Lah, katanya kamu udah ikhlas siapapun itu, kok hatinya tetep menjurus sih?
Y : Yaa, gimana ya. Kan tetep aku punya bayangan ke seseorang...
X : Bayangan sih bayangan. Tapi kayaknya kamu deket sama dia juga ya? Hati-hati, fitnah yang kayak gitu bahaya lho kalo ngga ada yang ngendaliin.
Y : Tahu darimana aku deket? Ngga ada buktinya.
X : Yaa, interaksimu ke dia yang tahu kan cuma kamu, Allah sama dia.
Y : Tuh kan suudzon.
X : Aku cuma mencoba memberi pandangan dari orang yang mungkin nggak deket sama kamu. Barangkali mereka berasumsi kayak gitu. Soalnya kan kamu pamer2 gitu kalo ada bayangan ke seseorang.
Y : Mereka ngeliat dari mana?
X : Status medsosmu, berita2 yang kamu share. Banyaklah. Asumsi orang kan lain-lain.
Y : Ya, kan ingin berbagi.
X : Tapi itu memperlihatkan penjurusan hatimuuuu. Biar apa? Biar orang tahu terus mikir aneh-aneh? Ya semoga beneran deh kamu pilih jurusan yang bener. Kalo salah, kasian jurusan hatimu yang sebenernya, nanti. Semoga nantinya aku nggak jadi korban salah jurusan. Kamu juga deh, aku doain.
Y : .......
X : Kalau ingin berbagi, jangan terlalu tunjukkan kecenderungan hati. Itu sih pesenku.

Another Daughter's First Love

Assalamu'alaikum!

Setelah sekian lama berkutat dengan kegiatan offline, sekian lama itu pula blog ini tidak berisi tulisan baru. Hmm, selain itu karena baru dapat inspirasi juga untuk menulis. Semoga tulisan ini cukup mengharukan deh, hehe.

Bapaaaaak, kangeeen.
Bapak adalah cinta pertama seorang anak perempuan. Apalagi untuk saya. Apalagi untuk anak pertama seperti saya. Saya tak punya kakak yang bisa melindungi saya, jadi ya, barikade perlindungan saya yang pertama adalah Bapak. Bapak itu orangnya melankoliiis sekali, pernah saya mengalami kecelakaan sepeda motor sampai kepala saya harus dijahit dan ketika sadar saya mati-matian minta maaf karena nggak patuh sama orang tua hingga jadilah kejadian itu terjadi, tapi Bapak saya hanya menangis, tanpa bilang apa-apa. Justru ibu saya lah yang keliatan tegar, dan nggak menangis sama sekali. Sifat dari bapak inilah yang saya warisi. Saya sangat sensitif dan gampang nangis :'''.

Inilah yang terjadi tadi pagi. Saya menangis setelah bangun tidur. Hmm, mungkin lebih tepatnya saat saya tidur. Mengapa? Karena tahu-tahu saat bangun mata saya basah. Kepala saya pun masih mengingat dengan jelas ketika saya bangun, mengapa saya bisa menangis. Penyebab saya menangis ini tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang menjadi cinta pertama saya, yakni lelaki selain bapak.

Beliau adalah kakak pertama Bapak saya, atau saya menyebutnya sebagai PakDhe. Beliau ini sayaaaaang banget sama saya. Beliau seorang suami dengan satu istri, namun tidak memiliki rezeki yang dimiliki oleh ayah saya dan adik-adik beliau yang lain. Jadilah beliau sangat menyayangi saya dan menganggap saya sebagai anak sendiri. Saat saya SMA, rasa sayang itu benar-benar beliau tunjukkan. Sewaktu SMA, saya bersekolah di luar kota, dan harus ngekos. Saat itulah beliau bertindak sebagai orangtua wali saya, dan itu tercatat di buku Rapor saya, kalau beliau adalah orang tua Wali saya.  

Pernah, ketika saya harus berangkat dari rumah nenek, setiap hari senin pagi (setiap akhir pekan atau libur saya selalu pulang ke rumah nenek -rumah pakdhe saya satu kota dengan rumah nenek-, karena jaraknya lebih dekat daripada rumah saya dengan sekolah) Pakdhe selalu mengantarkan saya sampai saya naik angkutan. Kalau saya terlambat, atau angkutan langganan saya tidak berangkat, pakdhe selalu siap mengantar saya ke sekolah, pagi itu juga dengan mobil biru beliau. *mulai berkaca-kaca*

Ohya, beliau itu selalu 'nyangoni' saya setiap mau berangkat ke sekolah dari rumah nenek. Padahal saya selalu dapet sangu juga dari Bapak. Hal ini terus berlangsung sampai saya masih bersama beliau. Bapak baru saya ceritakan hal ini setelah saya lulus SMA, hehe. Nakal ya.

Hal yang membuat saya menangis adalah, di mimpi itu, saya bertemu dengan seseorang yang sangaaaat mirip dengan Pakdhe. Di mimpi itu juga ada Bapak. Saya senggol Bapak dan tanya, "Bapak, itu Pakdhe bukan?". Bapak saya menjawab, "Bukan, sekedar mirip itu. Pakdhe kan sudah nggak ada." Setelah saya bangun, antara sadar nggak sadar, saya lanjutin nangisnya sampai mata jadi bengkak.

Kenyataan kalau Pakdhe sudah meninggal itu yang membuat saya agak kaget melihat seseorang yang sangat mirip dengan beliau di mimpi. Saya langsung sedih, karena saya merasa belum berbakti sama beliau. Beliau pengeeen sekali saya jadi dokter. Tapi, saya belum bisa mewujudkan itu ketika beliau meninggal. Beliau meninggal ketika saya baru mau naik ke kelas 12 SMA. Beliau berpesan, kalo bisa saya masuk ke jurusan kedokteran biar bisa mengobati sakit beliau. Saat itu beliau didiagnosis mengalami sirosis hepatis atau penyakit pengerasan hati. Beliau sering sekali menginap di rumah sakit untuk mengurangi cairan yang terus menerus ada di perutnya. 

Selain saya ada juga sepupu saya yang diberikan 'amanah' oleh beliau. Sepupu saya ini diamanahi untuk masuk sekolah kepolisian. Kebetulan cita-cita sepupu saya ini juga jadi Polwan. Saat ini sepupu saya sudah berprofesi sebagai polisi, karena pendidikannya sudah selesai. Tinggal saya yang masih berjuang untuk menyelesaikan studi sayaaaaa :''' *udah basah banget ini pipi*

Pesan Pakdhe yang selalu saya ingat
"Nduk, kalo sholat wajib itu yang tepat waktu ya. Supaya rezekinya juga tepat waktu."
 Simple, tapi terkadang sulit untuk dijalani. Pakdhe, insyaAllah segera terwujud keinginan Pakdhe supaya Ais jadi dokter. Terimakasih atas segala dukungan pakdhe dan motivasi pakdhe yang terus membekas sampai sekarang. Al-Fatihah....