Selasa, 28 Oktober 2014

Setengah Hati untuk Setengah Agama (?)

Bismillahirrahmanirrahim

Setelah sekian lama berkutat dengan benci terus nggak posting-posting lagi, tiba-tiba saya berganti haluan. Seperti biasa, membicarakan cinta memang tiada habisnya, terlebih baru seminggu lalu saya menghadiri suatu seminar pra-nikah di kampus. Acara yang bertajuk HALF DIEN ini tadinya tidak ingin saya hadiri, meskipun pembicaranya menggoda, yakni Meyda Sefira, sang aktris KCB, dan Cinta Suci Zahrana. Kenapa tadinya saya nggak pengin datang? Karena malam sebelum acara, saya hadir di suatu acara yang takutnya melelahkan hingga berujung pada keengganan untuk hadir di seminar pra-nikah ini.

"Ayolah, mbak Ais! Dateng aja. Udah 21 tahun lho sekarang! Udah 21 tahuuun!" Bujuk adik kelas saya yang cantik jelita nan solihah Isnaini Putri Solikhah (Ki lho Neen, tak pujiii!).
"Haissh, ntar lagi juga duadua kok. Tenang aja." (baru nyadar, udah tua banget ya saya)

Ya, tetapi ternyata, saya justru tertarik dengan pembicara yang lain, yakni Ustadz Yosi. Tertarik dengan cara  beliau menyampaikan materi dan kisah beliau (hehe, bukan tentang materinya). Materinya bagus, ya, seperti biasa tentang bagaimana keluarga yang baik, tentang sakinah, mawaddah dan warahmah. Mungkin akan saya sampaikan di lain waktu. Tetapi yang menarik di sini adalah mengenai kisah beliau yang menikah pada saat kuliah.

Beliau mengaku, pada saat semester 5, beliau menikahi seorang akhwat yang lebih tua dari beliau. Empat tahun lebih tua dari beliau! Bayangkan, dan kini saya duduk di semester 7 tapi belum menikah.... Oke, bukan itu yang menjadi poin yang akan dibahas pada tulisan ini, tetapi mengenai kesiapan menikah beliau yang, ehm, saya acungkan jempol sebanyak-banyaknya jempol yang saya miliki. Berani banget!

Beliau memang tidak menceritakan, bagaimana masa-masa sulit yang beliau hadapi dalam menempuh pernikahan yang begitu dini, terlebih dengan seorang calon istri, yang mungkin bisa kita perkirakan posisinya sudah lebih mapan dari posisi sang calon suami. Beliau juga menceritakan bahwa selama beliau mengerjakan skripsi, sang istrilah yang membantu menyelesaikan.

Selanjutnya tibalah saat Meyda Sefira mengisi acara. Tetapi saya sempat malu di hadapan beliau, ceritanya begini, saya adalah penonton yang duduk di tengah, dan tepat duduk di samping jalur lewat pembicara. Saat itu saya tengah searching jurnal untuk makalah penelitian saya, jadi tidak begitu awas dengan keadaan sekitar. Sampai suatu ketika saya menyadari ada suara di samping saya berbisik, "Permisi yaa..." lembut di telinga sambil menyingkirkan kardus snack dan tas saya yang menghalangi jalur 'pejalan kaki'. Ternyata beliau adalah Meyda Sefira, astaghfirullah, malunyaaaa...

Meyda Sefira menyampaikan materi menarik mengenai perempuan, di antaranya saya akui, GUE BANGET.
"Wanita itu hanya butuh didengarkan, kadang tidak butuh solusi. Maka, sekali-kali dengarkanlah ia, pusatkanlah pendengaranmu hanya untuknya." -Pesan ini dipersembahkan untuk para lelaki, dari Meyda Sefira, hehe-
Meyda juga punya kisah menarik mengenai pertemuannya dengan suaminya. Beliau bertemu dengan sang suami di jejaring sosial, facebook. Awalnya sang suami mengajak chat terlebih dahulu, namun canggihnya si Ukhti Meyda ini, dia baru membalas dua tahun kemudian setelah chat itu dikirim. Kata beliau, "Ya, kita kan harus Jual Mahal!"
Sampai pada akhirnya mereka berdua pun memutuskan bertaaruf dan terjadilah pernikahan. Di sini Meyda juga sedikit mengemukakan bagaimana sulitnya mereka memadukan jalan menuju pernikahan.

Hmm, saya jadi berpikir, di seminar iniyang diutarakan memang hanya bagaimana nikmatnya, belum terlalu menonjolkan bagaimana susahnya. Jadi pasca seminar usai, malah peserta bisa jadi makin menggebu untuk mewujudkan cita menyempurnakan separuh agama ini. Meskipun pada beberapa kesempatan, pembicara tetap mengutamakan persiapan yang perlu dijalani sebelum menikah, tapi yaaa tetap saja, karena kesenangan yang lebih dulu terbayang, jadi, ya gitu deh..

Ya, coba seminar pra-nikah ini yang dibicarakan adalah mengenai kesulitan-kesulitan pra, dan pasca menikah, mungkin ceritanya lain. Hambatan yang mungkin dihadapi, kendala saat cekcok dengan pasangan, ya gitu lah. Mungkin akan membuat para peserta seminar pra nikah menjadi berpikir berkali-kali, berulang-ulang. Ujungnya, jadi nggak menikah, hehe.

Saat ini, sejujurnya saya masih belum mengetahui standar untuk diri saya sendiri, bahwa saya sudah siap menikah atau belum. Jika teringat kalimat murobbi saya waktu saya iseng melontarkan keinginan menikah setahun yang lalu, saya jadi jiper.
"Memangnya kamu sudah siap? Sudah pasti darimana kamu akan mendapatkan penghasilan untuk anak-anakmu? Sudah tahu visi misi apa yang akan kamu bentuk untuk keluargamu? Sudah terbayang bagaimana cara mendidik anak, urutan ilmu yang akan kamu berikan pada anakmu? Sudah? Sudah? SUDAAH?"
Duh, akhirnya saya mundur, hehe. Saya merasa belum cukup keilmuan, keahlian, serta rencana hidup yang cukup untuk berumahtangga. Intinya saya masih setengah hati untuk menyempurnakan setengah agama ini. Mungkin perlu ikut beberapa seminar pra nikah lagi untuk menyempurnakan kesiapan. Sudah lah, urusin skripsi dulu deh, dari kemarin belum kelar-kelar. Bye!