Sabtu, 28 Desember 2013

Lain Kali, Mungkin..

Bismillahirrahmanirrahim..

Belum tidur, dan belum mau.
Intip postingan teman, terus jadi kepengin posting hal yang temanya tak beda jauh dari itu.

Ini gara-gara postingan fitriasfari sih, yang indah banget, dan saya jadi terinspirasi.
Di update-annya pula, ada sebuah komen dari anonim, sayangnya anonim, saya jadi nggak tahu harus credit ke siapa.
Intinya, rindu itu akan ada penghujungnya, dan akan tersampaikan pada waktunya.
Waah, ini komennya indah sekali yaaaaa.
Saya nggak lagi rindu sih, cuma lagi terkenang saja. Terkenang tentang masa lalu, yang pernah saya lalui. Tapi, bukan masa lalu yang pernah saya lalui dengan seseorang, bukaaaan. Sama sekali bukan.

Bukan hanya seseorang, tapi situasinya, jalan yang saya lalui, suasananya, orang-orang yang ada di sana, dan lain-lain. Keingetan doang sih, terus udah. Cuma keingetan, lho. Sekali lagi jangan dianggap serius haha. Postingan ini lagi-lagi bukan postingan serius ya.

Tuh kan, ais, galau lagi. Enggak kok, cuma terkenang, sekali lagi terkenang. Kalau rindu, berarti saya sudah pernah melewati hari yang sangaaaaaat berkesan, dan tak cuma terpapar sekali. Menurut saya, rindu itu tercipta karena memang banyak yang sudah terlewati dengan cara yang sama.

Terkenang di suasana kota yang berbeda dengan tempat saya berdiri, terkenang dengan potongan-potongan peristiwa yang terjadi saat itu. Entah, potongan-potongan yang saya ambil sepertinya begitu istimewa, sampai saya mengenangnya hingga begitu lama. 

Dan lagi pula, rindu itu sudah ada untuk peristiwa yang lain. Tentu seperti definisi saya tentang rindu yang sebelumnya. Ya, saya rindu dengan teman-teman SMA saya, dengan kisah yang saya lalui bersama mereka. Kalau terkenang, entah, potongan itu yang terkenang sampai sekarang. *jangan tanya yang dimaksud dengan 'potongan itu' yang seperti apa yaa ;)

Jumat, 27 Desember 2013

Sekedar Pengganti, atau Lebih?

Bismillahirrahmanirrahim...

"Aaargh. Kangen banget sama temen-temen SMA. Mereka memang tiada duanya. Takkan terganti lah. Rasanya pengen banget bisa bareng-bareng sama mereka lagi."

Pernah punya pikiran seperti itu? Saya sering.
Apalagi kalau lagi capek dengan urusan-urusan di luar akademik. Banyak timbul masalah pengganggu, yang membuat saya jadi gagal move on. Saya udah kuliah, tapi masih mikirin gimana seneng-seneng di SMA dulu.

Eits, tapi saya nggak semata-mata seneng-seneng doang lho, di SMA. Ada beberapa hal yang membuat saya terkenang dengan SMA. Eh, banyak ding.

Waktu kelas 1 SMA, saya satu-satunya representative dari SMP saya. Sampai kelas tiga juga sih, sebenernya, wkwk. Di awal-awal persekolahan, saya memang merasa agak minder. Sampai pas saya kelas tiga akhirnya saya tahu ada pikiran aneh dari teman saya semasa kelas X SMA.

"Tahu gak, pertama kali liat kamu aja aku udah tahu, kalo kamu bukan dari Semarang."
"Kok bisaa? Emangnya kenapa ih?"
"Soalnya wajah kamu itu agak ndeso. Hahahaha."
Jleb. Iya sih, emang saya dari desa, Semarang coret, Kendal juga coret. Tapi, temen saya yang barusan itu jujur banget ya, emang. Perkenalkan, namanya Nurul Istiqomah. Anak Komunikasi UNDIP, dan sampai sekarang dia masih suka gangguin saya, dengan dalih mau curhat.

Pas kelas X itu, serunya adalah, semua anak cewek di kelas itu saling 'tahu' satu sama lain. Maksudnya 'tahu' adalah, tahu si A lagi suka sama kakak kelas yang mana. Tahu si B lagi naksir kakak kelas yang ada di ekskul apa. Gila ya, tiap hari di kelas isinya mbribik doang. Cewek lho ini. CEWEK.

Kelas XI, ini nih. Santai bangeet. Tiada beban harus pilih jurusan IPA atau IPS karena beban itu ada di kelas X. Tiada beban harus lulus ujian nasional. Itu mah, ntar-ntaran aja dulu, kelas XII. Jadi di sini isinya maiiiiin mulu. Ke mall, ke bioskop, ke toko buku, dan tetep pake seragam kalo main. Biar ketahuan anak SMA mana, hahaha, alay. 

Yang paling bikin seru di kelas XI itu adalah karena saya ikutan ROHIS. Di subsie (dulu masih subsie, belum jadi ekskul, nggak tahu kalo sekarang) Rohis ini saya belajar banyak. Ketemu Isti Noor Masita (aktivis banget ini orang), Noor Oktova Fajriyah (huah, ini apalagi), Intan Khadijah (Ketua Annisa yang suka sama korea (dulu) dan jepang-jepangan), Intan Bias Papeke, Fitri Asfari, dan temen-temen saya yang lain. Oiya, satu lagi, ada Bagas Heradhyaksa, ketua Rohis angkatan saya yang hobi banget senyum senyum dan bilang 'Subhanallah.' Ini orang unik banget, saya inget, dulu dia pernah terlambat sekolah gegara ban motornya bocor, dan dia bilang 'Alhamdulillah.' dapet musibah tapi bersyukur, emang unik ini orang. Tapi dulu saya suka emosi kalo sama dia, habis senyum senyum melulu, jarang marah pula. 
"Eh, kerjain bagas yuk. Kita sms ke dia, isinya 'Subhanallah..' titiknya dua ya. DUA!" ini idenya si Riecho pecandu jejepangan yang sekarang beneran kuliah di sasjep. Eh, apa idenya Amri ya? Ini anak yang pas lulus SMA dan mau minta surat keterangan sehat ke rumah sakit, eh dikira lulusan SMP yang mau daftar SMK.

Kelas XI isinya main, dan cabut. Hahaha. Tapi cabutnya gegara ROHIS dan waktu itu mau ngurusin Islamic Festival, program terobosan dari divisi dakwah. Acara ini sempet hampir nggak jalan gara-gara nggak ada tempat (ga ada duit jugaaa), soalnya smaga mau dipake buat UM entah UGM atau UNDIP, lupa. Akhirnya kita pindah ke balaikota semarang, dan justru acaranya makin heboh di sana. Lain kali mungkin ya, acara I-Fest ini saya bahas di postingan khusus, abisan seru banget. Apalagi ketuanya, wooooh. Super duper kontroversial ketua I-Fest ini hahaha. Afwan akhi, soalnya dulu antum bikin panitia (lebih tepatnya bendahara aka Ishmah) geger sih hahaha.

Kelas XII. Yaaah, seru seruuuu banget. Udah sering kali ya, ngebahas temen-temen kelas XII. Reunian sama kelas ini. Udah sering lah ya. Nah, yang ingin saya bahas sekarang (ini baru mau ke postingan utama-nya nih) adalah tentang sosok-sosok yang ada di sekeliling saya sekarang. Jujur, dulu awal saya kuliah di UNSOED, saya suka membandingkan teman-teman saya di perkuliahan dengan yang di persekolahan. Saya sempet menyesal karena kelakuan pembandingan saya ini. Dasar nggak bersyukur ya.

Saya dulu sempet nangis waktu lulus SMA, cemas, saya nggak bakal dapet temen kayak temen saya yang bernama Arina Fadhilah. Beliau ini, guru spiritual saya, wkwk. Maksudnya, saya dapat pemahaman saya musti gimana dan lain-lain itu dari beliau. Urusan jilbab, urusan pertemanan, urusan cinta juga. Tapi karena saya dulu belum peduli ngurusin cinta (sekarang juga kok :p), jadi beliau belum mengambil bagian yang penting untuk urusan yang terakhir itu.

Kalau kamu cemas kamu nggak dapet temen yang bisa ngawasin kamu, ya kamu jadi pengawas untuk yang lain dong. Perhatikan teman-teman barumu nanti, kan nggak selamanya kamu harus jadi yang diawasin melulu. Jadilah penggerak buat yang lain. Jadilah pemerhati buat yang lain. 
Akhirnya sekarang saya mengerti, nggak bisa selamanya saya jadi 'adik'. Saya harus bisa jadi 'kakak' untuk yang lain. Dulu waktu SMA saya pernah ngerasa nggak enak kalau nggak melindungi salah satu ukhti saya Intan Bias Papeke. Saya menganggap, kalau saya ini harus melindungi dia, apapun yang terjadi. Semacam protector gitu. Nah, ini yang harus saya pertahankan.

 Di lingkungan baru saya ini, saya nggak bisa membanding-bandingkan diri teman saya dahulu, dengan diri teman saya yang sekarang. Pasti berbeda, dan nggak akan sama. Kalaupun saya berpikir, sosok A ada nih di sosok N, misalnya. Tentu sewaktu-waktu akan ada hal yang berbeda, yang mungkin tidak akan sesuai, jika yang melakukan itu adalah sosok A. Teman saya yang sekarang, bukan sekedar pengganti teman saya yang lalu.

Sekali lagi, mereka bukan sekedar pengganti, tetapi lebih. Ya, lebih alay, lebih dewasa, ada juga yang lebih kocak. Semuanya berbeda, dan takkan pernah bisa disamakan :).
ini teman-teman baru saya (Tekad 1 HMMK)



Rabu, 11 Desember 2013

Apa Kabar, Ais?

Bismillahirrahmanirrahim


 Eh, itu diretweet lho. Girang ya. Iya lah. Tapi yang ngeretweet adik kelas sendiri wkwk. Nggak papalah, menurut saya itu prestasi *all alone detected

Yaudah ya, tanya kabar diri sendiri dulu.
"Gimana ais kabarnya? Sehat?'

Seenggaknya sekarang saya udah bisa jawab. "Agak nggak enak badan nih. Sama agak nggak enak jiwa juga. Oh iya, sama nggak enak hati juga. Oh iya, sama nggak enak perasaan juga."

Ya, jiwa dan raga saya masih belum sepenuhnya sehat. Tetapi, kata beberapa orang sih, katanya, jangan sampe menunjukkan ketidakbahagiaanmu kepada banyak orang. Yang bilang siapa ya? Saya lupa orangnya. Kalau nggak saya sendiri ya, berarti orang lain.

Emang saya ini orangnya suka sedih tiba tiba. Suka jengkel tiba-tiba. Suka muntah tiba-tiba. Lho, apa hubungannya? Nggak tau juga deh, kalau saya lagi emosi, kalau saya lagi stress, tiba tiba pengen muntah aja, wkwk. 

Nggak enak jiwa, karena kayaknya lagi nggak rapih ini jadwal sehari-hari. Bangun telat lah, nggak bisa prioritasin aktivitas lah, dan lain-lain.

Nggak enak hati, karena lagi banyak masalah interpersonal. Ya, banyak mungkin yang sedang saya kecewakan sekarang. Maaf, maaf, maaf berjuta maaf untuk kalian semua. Kalian semua luar biasa *gaya ariel beut.

Nggak enak perasaan, karena ada aja yang bikin rasa rasa ini gelisah. Nggak tahu deh, faktor banyak urusan terbengkalai kali ya.





padahal ada ini. La tahzan, Innallaha ma'ana.
Iya deh, iya saya nggak sedih lagi. Secepat itu? Iya secepat itu saya nggak sedihnya. Semoga dengan selesainya tulisan ini, sedih saya juga selesai. Babay sediiih :)

Minggu, 24 November 2013

Masuk Neraka Siapa Takut #Banting Saja Pintunya Biar Ramai!

Bismillahirrahmanirrahim..

Ini postingan giveaway pertama saya. Ingin ikut giveaway ini, karena judul giveaway-nya menarik sekali. Terkait dengan judul giveaway kali ini, memang lebih mudah melakukan amalan yang mengantarkan kita masuk neraka dibanding ke surga, Naudzubillahi min dzalik. Di postingan kali ini saya ingin membahas suatu kesalahan yang pernah saya lakukan, dan menurut saya ini adalah kesalahan yang sangat BESAAAR. Dan entah, apakah kesalahan ini bisa diampuni, wallahu’alam. Sekarang pun saya masih berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan itu, bahkan dalam bentuk yang ‘mini’ sekalipun.

Ini menyangkut dengan amarah, ya, amarah. Saya akui, satu kekurangan terbesar saya, yang masih sulit saya tangani adalah menahan amarah. Meskipun nantinya saya bisa saja minta maaf, tapi kan, orang yang saya marahi ini sempat terpapar oleh kemarahan saya. Kadang hal ini membuat saya sedih, dan menyesal, kepada begitu mudahnya saya marah. Lebih tepatnya kadang lebih mudah tersinggung, lebih peka, dan mungkin lebih mudah stres, dibanding teman-teman saya yang lain.

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
 Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 5763) dan Muslim (no. 2609).
Permasalahannya adalah jika amarah saya ini terkadang tumpah kepada orang yang tidak sepantasnya saya perlakukan seperti ini. Setelah saya melampiaskan amarah ini, saya menangis sejadi-jadinya. Saya benar-benar seperti telah melakukan kesalahan yang tidak akan pernah bisa ditebus oleh apapun. Yang membuat saya semakin menyesal adalah, permasalahan yang mendasari hal ini adalah permasalahan yang amat sangat sangat sepele.

Hari itu hari minggu, saat saya masih kelas dua SMA kalau tidak salah. Saat itu, saya sudah harus berpisah rumah dengan orang tua saya, karena saya bersekolah di luar kota, lebih tepatnya berbeda kabupaten dengan rumah saya tinggal. Siang itu, saya tengah mempersiapkan barang-barang, istilah kerennya packing, karena saya akan segera berangkat menuju kota tempat saya bersekolah saat itu. Seingat saya, waktu itu memang saya tengah ribet mengurusi berbagai masalah yang harusnya sudah saya persiapkan sebelum berangkat, tapi kenyataannya, belum selesai juga.

Adik pertama saya, laki-laki, saat itu membuka tempat pensil saya, karena Ia ingin meminjam pensil saya. Tetapi, karena kurang hati-hati, adik saya ini merusakkan tempat pensil saya yang memang dari sebelum dia pinjam sudah agak rusak dan saatnya diganti. Hanya, saat itu saya sangat sayang dengan tempat pensil itu, sehingga tak segera saya ganti.

“Mbak, ini tempat pensilnya.. rusak..” dia mengembalikan tempat pensil saya dengan muka memelas.

Saya diam menerima tempat pensil itu. Begitu saya melihat kondisi tempat pensil saya tidak bisa ditutup (yang rusak itu bagian resletingnya), saya langsung emosi, “Ini kok bisa begini, sih?! Ini tuh tempat pensil kesayangan mbak, tau..! Kamu emang bisa benerin resletingnya? Ini udah susah tau..” serta merta emosi saya meluap. Sepele, kan? Iya, sepele banget!

Seketika saya langsung menangis dan membanting tempat pensil saya itu ke lantai. Refleks. Dan asal tahu, tangisan saya ini tangisan yang benar-benar menyesakkan. Saya saja sampai sesak pas menangis saat itu. Perasaan saya adalah antara saya sedih, menyesal setelah saya memarahi adik saya ini. Tapi, tetap saja tempat pensil itu tidak bisa diperbaiki lagi, pikir saya saat itu.

 “Kamu tuh, kenapa marah-marahin adikmu?! Itu tempat pensilnya kan masih bisa beli lagi yang baru, nggak usah pake marahin adikmu kan bisa?” Ibu saya yang sedang menjahit celana adik saya yang robek akhirnya tidak mampu menahan emosi. Dan inilah saat paling menegangkan bagi hidup saya saat itu. Ibu saya menangis!

“Ya habis, ngapain dia ngerusakin tempat pensilku..! Itu kan.. tempat pensil kesayangan ku, ibu.. Ngga ada lagi tempat pensil yang sama kayak gitu..” sambil terengah karena saya sedang menangis dengan nada setengah membentak saya berbicara kepada ibu saya.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.” (Al Isra’ : 23)
Tangisan ibu saya semakin keras. Saya pun juga semakin terisak. Jadi teringat, sebelum kejadian yang sangat menegangkan itu, sewaktu SD dan SMP saya sering marah kepada ibu saya karena hal sepele. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Dan yang saya lakukan saat itu adalah lari menuju kamar, dan segera membanting pintu kamar saya.

“Kurang keras, nduk! Kalau mau banting pintu yang keras sekalian biar tetangga bisa dengar!” Balas ibu saya. Saya belum sadar bahwa pada saat itu, ibu saya pun kecewa melihat saya bertingkah seperti itu. Apalagi saya sebagai anak pertama seharusnya memberikan contoh yang baik untuk adik-adik saya. Prosesi pembantingan pintu yang saya lakukan tidak terjadi hanya sekali dua kali. Sampai pada akhirnya saya bosan jika marah harus selalu membanting pintu. Tapi, tetap saja, ketika saya marah, saya akan menuju ke kamar, tapi tanpa membanting pintu. Konyolnya, yang saya lakukan adalah membuang barang-barang yang ada di meja ke lantai. Ya, tetap saja terdengar dari luar kamar kalau saya sedang marah.

Menyesal, menyesal sekali. Saya tega sekali kepada ibu saya saat itu. Akhirnya saya minta maaf, dan mohon ampun kepada ibu saya saat itu. Alhamdulillah saat ini saya masih berhubungan baik dengan ibu saya, dan masih berkesempatan bertemu dengan ibu saya di dunia. Ada hikmah juga dibalik kejadian ini, adik saya yang kedua, saat melihat saya marah dengan kondisi seperti itu, plus melihat ibu yang juga marah dan kecewa dengan perbuatan saya, dia jadi belajar. Apa yang tidak boleh, dan apa yang seharusnya dilakukan. Adik perempuan saya ini sangat sayang kepada ibu, dan jarang membantah ibu. Maafkan mbak ya dik, dulu belum bisa jadi contoh yang baik..

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Isra’ : 24)
Seperti penggalan ayat Al Isra’: 23, berkata ‘ah’ saja tidak boleh, apalagi ini. Malah marah-marah kepada orang tua, apalagi seorang ibu. Saya takut sekali dibilang sebagai anak durhaka, atau apapun itu, Naudzubillah. Saya akui, saat itu perkataan saya sebagai anak sangat melukai hati orang tua. Saat ini pun saya tengah belajar menahan amarah, dan menjaga kestabilan hati untuk tidak mudah meluapkan emosi.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36).
Bahkan pada ayat tersebut, perintah berbakti kepada orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama, yakni tauhid.

Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.’” (HR. Al Bukhari no. 5970).
Dari hadits tersebut bahkan perintah berbakti kepada orang tua lebih didahulukan dibandingkan dengan jihad di jalan Allah. Allah begitu mencintai umat-Nya yang berbakti kepada orang tua. Semoga saya masih berkesempatan untuk menikmati cinta Allah di jalan ini.. 


Sehat, Sakit, atau Mati?

Bismillahirrahmanirrahim
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang maka dipercepat tindakan hukuman atas dosanya (di dunia) dan jika Allah menghendaki bagi hamba-Nya keburukan maka disimpan dosanya sampai dia harus menebusnya di hari kiamat.” (HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
Alhamdulillah masih bisa posting lagi, hehe. Setelah sekian lama tidak posting. Memohon maaf pada diri sendiri karena target postingan yang seharusnya seminggu sekali tidak tercapai. Ya, bismillah, postingan pertama setelah sekian lama hibernasi, insya Allah bermanfaat (pada diri sendiri dan juga) untuk orang lain.


Kali ini saya ingin memposting tentang suatu hal yang bergolak di hati saya *aseek. Ya, belakangan saya tengah diberikan petunjuk yang luar biasa berarti, menurut saya, dan Allah memberikan petunjuk ini di saat yang tepat. Hem, sebenarnya lebih tepatnya Allah sudah sekian lama memperingatkan saya, tapi bodohnya saya, saya nggak sadar akan hal itu. Mesti diperingatkan dengan hal yang berat dulu, baru saya sadar. Semoga teman-teman tidak ada yang seperti saya, aamiiin.


Sudah membaca penggalan hadits di atas kan? Hadits ini saya baca di mushaf saya, di bagian bawah, di sebelah terjemahan surat yang tengah saya baca. Saya merasa hadits ini perlu diabadikan di blog saya hehe, biar selalu ingat maksudnya. Sudah mengait-kaitkan hadits ini dengan apa yang dialami teman-teman selama ini? Ya, hal pertama yang saya lakukan setelah membaca hadits ini adalah langsung mengingat selama ini saya merasa tengah diuji. Lalu, saya kaitkan dengan hadits ini. Sudah tenangkah hati, teman-teman? Insya Allah hati kita masih belum bukan hati yang sekeras batu ya.


Berkaitan dengan hati, saya pernah mendengarkan kajian tentang klasifikasi hati. Ada 3, yakni qolbun salim, qolbun maridh, dan qolbun mayyit. 

Yang pertama qolbun salim, atau hati yang sehat, “dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (Sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan-nya” (Al-Mu’minun: 60). Kalau dari catatan saya sih, hati yang seperti ini senantiasa berdzikr kepada Allah, beristighfar, berdoa, bershalawat kepada Rasulullah, Qiyamul Lail (ibadah ini susahnya..), dan lain-lain. Saya sendiri merasa belum sepenuhnya seperti ini, astaghfirullah…


Yang kedua qolbun maridh atau hati yang sakit. Hati seorang mukmin yang seperti ini biasanya masih memegang prinsip Islam, kok. Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam keadaan hati yang seperti ini, yaitu
  1. Berlebihan dalam berbicara, bercanda (yuk, istighfar lagi, aiiss. Astaghfirullahal’adzim.)
  2. Berlebihan dalam memandang sesuatu (istighfar..)
  3. Berlebihan dalam makan (ayooo semuaa istighfaar!)
  4. Berlebihan dalam bergaul (astaghfirullahal'adziim..)

Dan masih banyak lagi berlebihan-berlebihan lainnya. Iya sih, pada dasarnya hati yang sakit ini masih memegang prinsip Islam, tapi ya masak mau kayak gitu terus, nggak sehat-sehat dong, ais.


Yang ketiga qolbun mayyit atau hati yang mati. Nah, ini nih. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan manusia yang seperti ini. Salah satu cirinya adalah melakukan dosa berkali-kali, terus makin lama makin banyak, dan nggak tobat-tobat. Huhu, naudzubillah. 
“….Katakanlah (Muhammad),”Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertobat kepada-Nya.” (Ar Ra’d: 27)
Tunggu, maksud dari ayat ini tidak sesempit itu. Maksud dari kalimat “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki..” itu tidak serta merta terjadi. Jika Allah sudah sampai menyesatkan orang tersebut, berarti memang sudah ada beberapa fase yang hamba ini lewati sebelum menjadi orang yang hatinya telah mati, dan pada akhirnya disesatkan olah Allah, ya contohnya, udah diingetin berkali-kali, teteeeeep ngga sadar, ujungnya disesatkan. Naudzubillah!
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai. (An Nahl: 108)
Naudzubillah.. Jangan sampai hati kita ada di golongan hati yang mati ya, teman-teman.. Ada beberapa ciri dari orang yang hatinya sudah mati ini. Antara lain, kufur nikmat, kufur aqidah, dan kufur amal. Oya, ada satu ayat yang menarik menurut saya terkait dengan hal ini
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar dari padanya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 74)
Dari tafsir yang saya cari di internet sih, tidak akan ada gunanya memiliki hati yang keras, dan bahkan lebih keras dari batu. Hati itu baru akan memiliki manfaat ketika ia diruntuhkan. Bahkan makna yang lebih dalam adalah, ketika suatu hati diberikan pengajaran yang lunak, tapi ia tak jua luluh, maka palu godam azablah yang akan meruntuhkannya. Hukuman itu pasti akan datang, entah di dunia atau di akhirat, seperti hadits yang sudah sampaikan di pembuka postingan ini :)

Jumat, 11 Oktober 2013

Lihat Langit, Lihat Langit!

Bismillahirrahmanirrahim..

Saya suka sekali memperhatikan langit. Langit memecahkan banyak masalah, menurut saya, lebih tepatnya, langit begitu banyak menyimpan solusi. Entah, begitu luas, tak berujung, dan membuat ketenangan muncul dari hati saya #eaaa

Ini langit sore hari di purwokerto, indah ya?
Kadang, seseorang perlu sendiri untuk selesaikan masalahnya, iya kan? Coba deh, perhatikan langit, tak harus sore hari, siang hari, atau pagi hari, dan bahkan malam pun, banyak solusi yang ia tawarkan. Ya, mungkin ini lebaynya saya, tapi, dari langit, saya sering menemukan ketenangan.

yang ini di kosan saya. Sayangnya saya salah ambil momen, padahal langitnya lagi bagus hmm.

Oya, langit itu juga salah satu terapi yang unik, menurut saya doang sih mungkin. Pernah suatu kali saya mengeluh pandangan kabur ke ayah saya. Ayah saya berkata, "Coba lihat langit atau lihat sesuatu yang jauh, atau apapun deh. Nanti mata kamu pasti segar lagi, dan insya Allah nggak minus!" Iya sih, saya nggak minus, tapi, silinder....
lihat langit, lihat langiit!
Langit itu luas, luaaas, dan tidak berujung. Ya, mengingatkan juga betapa kecilnya kita, manusia, di hadapan Sang Pencipta, yang tentu Maha Besar, dan langitpun masih kalah besarnya.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Kebutuhan Khusus [?]

Bismillahirrahmanirrahim

"Memilikinya meski tak sempurna itu berkah. Membersamainya meski tak sempurna itu indah. Membuka mata kami, bahwa hati itu harus peduli. Membuka mata kami bahwa banyak orang di luar sana yg juga tak sempurna, tapi tak juga mendapat kasih sayang serupa. Berkebutuhan khusus itu bukan cela, tapi ia adalah sumber ilmu, sumber pengharapan yang juga sama, bahkan terkadang lebih banyak ilmu yang ia bagi kepada kami, kepada orang-orang di sekitarnya.."

Kali ini ingin membahas tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Apa itu anak berkebutuhan khusus (ABK)?

Dahulu, istilah ABK belum digunakan, yang biasa digunakan untuk menyebut anak-anak ini adalah anak cacat, atau anak luar biasa. Saya tidak setuju dengan istilah yang pertama. Memang, mereka tidak sempurna, tetapi, memberi mereka sebutan itu, yah, rasakan sendiri jika Anda yang harus dipanggil dengan sebutan itu. Istilah kedua, yakni anak luar biasa, masih digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan yang khusus memfasilitasi mereka. Mereka memang tidak biasa, tetapi 'luar biasa'.

Berkebutuhan khusus menurut saya istilah yang cukup mending. Ya, mereka memang memiliki kebutuhan yang berbeda. Tergantung pada 'kekurangan' apa yang mereka miliki. Secara fisik, ataupun secara mental, anal-anak ini memang dinilai memiliki kekurangan, tapi, jika merasakan interaksi dengan mereka secara langsung, akan lebih banyak pelajaran yang kita ambil, dibanding bertemu orang yang 'normal'.

Salah satu cita-cita saya nanti adalah mendirikan yayasan yang memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Mengapa saya begitu peduli dengan masalah ini? Ya, sekali lagi, jika kita merasakan interaksi dengan mereka secara langsung, lebih banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Saya setiap hari selalu berhadapan dengan anak 'istimewa' ini. Dari bangun tidur, hingga bangun tidur keesokan harinya. Adik saya adalah salah satu anak 'istimewa' ini.

'Kekurangan' yang dia miliki, justru membuat keluarga kami jadi lebih istimewa. Dari kecil, saya selalu dididik oleh ibu saya untuk tidak malu memiliki adik istimewa ini. "Orang-orang di luar sana belum tentu mampu menghadapi 'ujian' dan 'tantangan' ini nak." Seolah, beliau menanamkan, keluarga kami mampu, dan akan dengan leluasa melapangkan hati menerima 'tantangan' ini. Sekali lagi, yang diajarkan oleh ibu saya untuk menghadapi adik istimewa saya ini adalah, tetap perlakukan dia seperti orang biasa, ajak dia bicara seperti kau mengajak bicara orang lain.

Ibu saya tidak pernah menyembunyikan keberadaan adik saya ini, sehingga kami sudah biasa menerima tatapan aneh dari orang-orang yang baru bertemu. Itu sudah biasa, kami sudah kebal. Dan bahkan sejak awal, dari awal, saya tidak pernah malu, dan tidak pernah merasa keberatan dengan keberadaaan adik saya. Entah mengapa, kelapangan hati yang Allah berikan untuk saya sudah hadir sejak awal dia lahir (adik saya ini lahir waktu saya kelas 2 SD).

Apa pernah saya mengalami fase 'diolok-olok' oleh orang lain? Ya, pernah, tentu saja. Sampai saat ini saya masih ingat dengan peristiwa itu, saat itu saya kelas 5 SD kalau tidak salah. Dan orang itu hampir sebaya dengan saya, hanya berbeda dua tahun di bawah saya. Hampir saya tonjok mukanya waktu dia mengolok adik saya, dan bahkan mengolok saya juga! Tetapi, saat itu ibu saya yang berada agak jauh dari saya menatap saya dan tersenyum, seolah bilang; "Biarkan saja, bertengkar hanya akan menambah masalah.." Alhasil, waktu saya pulang ke rumah, saya langsung menangis sejadi-jadinya, di depan ibu saya. Tetapi saya lupa apa yang ibu katakan kepada saya, sampai pada akhirnya saya tidak pernah menonjok muka orang itu, hingga sekarang :)

Adik saya ini punya satu keahlian, lho. Adik saya mampu menari, padahal dia memiliki kesulitan dalam mendengar. Bagaimana mungkin ia bisa menari mengikuti irama musik, padahal pendengarannya sendiri kurang? Ya, pernah saya melihat pertunjukkannya sekali, saat dia dan teman-temannya menari, ada sesosok wanita di belakang penonton yang mengarahkan gerakan adik-adik yang tengah menari di depan. Ya, mereka memang tidak mendengar, tapi mereka mampu merasa bagaimana ketukan irama lagunya.

Saya begitu takjub melihat guru yang tengah mengarahkan gerakan adik-adik itu. Sampai saat saya bertemu dengan guru adik saya ini, bersama dengan guru adik saya yang lain, entah, mereka ini adalah orang-orang luar biasa. Sungguh, kesabaran mereka tentu kesabaran tingkat tinggi, yang tidak semua orang mampu menjangkau kemampuannya.

Ini hanya ilustrasi, ini bukan adik saya, hehe
Di kabupaten saya, Ibu Bupati begitu concern dengan keberadaan anak kebutuhan khusus ini. Di beberapa perayaan tertentu di ibukota kabupaten, adik saya selalu diundang untuk memeriahkan acara. Bahkan adik saya pernah membaca puisi juga, lho. Judulnya, eh, judulnya apa ya? Hehe, lupa. Inti isi puisinya adalah, 'Kami (anak berkebutuhan khusus) juga butuh pendidikan, dan sarana pendidikan yang sama seperti orang lain pada umumnya.' Kata adik saya setelah ia membaca puisi itu, "Mbak Ais, bapak ibu (penonton-red) yang nonton  semuanya malah nangis waktu aku baca puisi." Jelas lah dik, orang saya aja nangis waktu kamu mempraktekan baca puisimu itu di rumah. 

Ya, membersamainya meski tak sempurna itu indah. Membuka mata kami, bahwa hati itu harus peduli. Membuka mata kami bahwa banyak orang di luar sana yang juga tak sempurna, tapi tak juga mendapat kasih sayang serupa. Tetapi adik saya menjadi salah satu yang beruntung, berlimpah kasih dari kami keluarganya. Jika bukan kami, lalu siapa lagi? Kamilah yang diberi amanah ini oleh Allah, kamilah yang harus bertanggung jawab dan jika mampu, kami ingin bertemu kembali di Jannah-Nya. Aaaamiiin :)

Ini adik saya, Rahma, tapi ini waktu masih kecil