Bismillahirrahmanirrahim..
Ini postingan giveaway pertama
saya. Ingin ikut giveaway ini, karena judul giveaway-nya menarik sekali. Terkait dengan judul giveaway kali ini, memang lebih mudah melakukan amalan yang mengantarkan kita masuk neraka
dibanding ke surga, Naudzubillahi min dzalik. Di postingan kali ini saya ingin
membahas suatu kesalahan yang pernah saya lakukan, dan menurut saya ini adalah kesalahan
yang sangat BESAAAR. Dan entah, apakah kesalahan ini bisa diampuni, wallahu’alam.
Sekarang pun saya masih berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan itu, bahkan
dalam bentuk yang ‘mini’ sekalipun.
Ini menyangkut dengan amarah, ya,
amarah. Saya akui, satu kekurangan terbesar saya, yang masih sulit saya tangani
adalah menahan amarah. Meskipun nantinya saya bisa saja minta maaf, tapi kan,
orang yang saya marahi ini sempat terpapar oleh kemarahan saya. Kadang hal ini
membuat saya sedih, dan menyesal, kepada begitu mudahnya saya marah. Lebih tepatnya
kadang lebih mudah tersinggung, lebih peka, dan mungkin lebih mudah stres,
dibanding teman-teman saya yang lain.
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan
lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang
sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Hadits shahih riwayat al-Bukhari
(no. 5763) dan Muslim (no. 2609).
Permasalahannya adalah jika
amarah saya ini terkadang tumpah kepada orang yang tidak sepantasnya saya
perlakukan seperti ini. Setelah saya melampiaskan amarah ini, saya menangis
sejadi-jadinya. Saya benar-benar seperti telah melakukan kesalahan yang tidak
akan pernah bisa ditebus oleh apapun. Yang membuat saya semakin menyesal
adalah, permasalahan yang mendasari hal ini adalah permasalahan yang amat
sangat sangat sepele.
Hari itu hari minggu, saat saya
masih kelas dua SMA kalau tidak salah. Saat itu, saya sudah harus berpisah
rumah dengan orang tua saya, karena saya bersekolah di luar kota, lebih
tepatnya berbeda kabupaten dengan rumah saya tinggal. Siang itu, saya tengah
mempersiapkan barang-barang, istilah kerennya packing, karena saya akan segera berangkat menuju kota tempat saya
bersekolah saat itu. Seingat saya, waktu itu memang saya tengah ribet mengurusi
berbagai masalah yang harusnya sudah saya persiapkan sebelum berangkat, tapi
kenyataannya, belum selesai juga.
Adik pertama saya, laki-laki,
saat itu membuka tempat pensil saya, karena Ia ingin meminjam pensil saya. Tetapi,
karena kurang hati-hati, adik saya ini merusakkan tempat pensil saya yang memang
dari sebelum dia pinjam sudah agak rusak dan saatnya diganti. Hanya, saat itu
saya sangat sayang dengan tempat pensil itu, sehingga tak segera saya ganti.
“Mbak, ini tempat pensilnya..
rusak..” dia mengembalikan tempat pensil saya dengan muka memelas.
Saya diam menerima tempat pensil
itu. Begitu saya melihat kondisi tempat pensil saya tidak bisa ditutup (yang
rusak itu bagian resletingnya), saya langsung emosi, “Ini kok bisa begini,
sih?! Ini tuh tempat pensil kesayangan mbak, tau..! Kamu emang bisa benerin
resletingnya? Ini udah susah tau..” serta merta emosi saya meluap. Sepele, kan?
Iya, sepele banget!
Seketika saya langsung menangis
dan membanting tempat pensil saya itu ke lantai. Refleks. Dan asal tahu, tangisan saya ini tangisan yang benar-benar menyesakkan. Saya saja sampai sesak
pas menangis saat itu. Perasaan saya adalah antara saya sedih, menyesal setelah
saya memarahi adik saya ini. Tapi, tetap saja tempat pensil itu tidak bisa
diperbaiki lagi, pikir saya saat itu.
“Kamu tuh, kenapa marah-marahin adikmu?! Itu
tempat pensilnya kan masih bisa beli lagi yang baru, nggak usah pake marahin
adikmu kan bisa?” Ibu saya yang sedang menjahit celana adik saya yang robek
akhirnya tidak mampu menahan emosi. Dan inilah saat paling menegangkan bagi
hidup saya saat itu. Ibu saya menangis!
“Ya habis, ngapain dia ngerusakin
tempat pensilku..! Itu kan.. tempat pensil kesayangan ku, ibu.. Ngga ada lagi
tempat pensil yang sama kayak gitu..” sambil terengah karena saya sedang
menangis dengan nada setengah membentak saya berbicara kepada ibu saya.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya
atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka Perkataan yang mulia.” (Al Isra’ : 23)
Tangisan ibu saya semakin keras. Saya
pun juga semakin terisak. Jadi teringat, sebelum kejadian yang sangat
menegangkan itu, sewaktu SD dan SMP saya sering marah kepada ibu saya karena
hal sepele. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Dan yang saya lakukan saat
itu adalah lari menuju kamar, dan segera membanting pintu kamar saya.
“Kurang keras, nduk! Kalau mau
banting pintu yang keras sekalian biar tetangga bisa dengar!” Balas ibu saya. Saya
belum sadar bahwa pada saat itu, ibu saya pun kecewa melihat saya bertingkah
seperti itu. Apalagi saya sebagai anak pertama seharusnya memberikan contoh yang
baik untuk adik-adik saya. Prosesi pembantingan pintu yang saya lakukan tidak
terjadi hanya sekali dua kali. Sampai pada akhirnya saya bosan jika marah harus
selalu membanting pintu. Tapi, tetap saja, ketika saya marah, saya akan menuju
ke kamar, tapi tanpa membanting pintu. Konyolnya, yang saya lakukan adalah
membuang barang-barang yang ada di meja ke lantai. Ya, tetap saja terdengar
dari luar kamar kalau saya sedang marah.
Menyesal, menyesal sekali. Saya tega
sekali kepada ibu saya saat itu. Akhirnya saya minta maaf, dan mohon ampun
kepada ibu saya saat itu. Alhamdulillah saat ini saya masih berhubungan baik
dengan ibu saya, dan masih berkesempatan bertemu dengan ibu saya di dunia. Ada hikmah
juga dibalik kejadian ini, adik saya yang kedua, saat melihat saya marah dengan
kondisi seperti itu, plus melihat ibu yang juga marah dan kecewa dengan perbuatan
saya, dia jadi belajar. Apa yang tidak boleh, dan apa yang seharusnya
dilakukan. Adik perempuan saya ini sangat sayang kepada ibu, dan jarang
membantah ibu. Maafkan mbak ya dik, dulu belum bisa jadi contoh yang baik..
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Isra’ : 24)
Seperti penggalan ayat Al Isra’:
23, berkata ‘ah’ saja tidak boleh, apalagi ini. Malah marah-marah kepada orang
tua, apalagi seorang ibu. Saya takut sekali dibilang sebagai anak durhaka, atau
apapun itu, Naudzubillah. Saya akui, saat itu perkataan saya sebagai anak
sangat melukai hati orang tua. Saat ini pun saya tengah belajar menahan amarah,
dan menjaga kestabilan hati untuk tidak mudah meluapkan emosi.
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36).
Bahkan pada ayat tersebut,
perintah berbakti kepada orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama,
yakni tauhid.
Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan
apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada
waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada
orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab,
‘Jihad di jalan Allah.’” (HR. Al Bukhari no. 5970).
Dari hadits tersebut bahkan
perintah berbakti kepada orang tua lebih didahulukan dibandingkan dengan jihad
di jalan Allah. Allah begitu mencintai umat-Nya yang berbakti kepada orang tua.
Semoga saya masih berkesempatan untuk menikmati cinta Allah di jalan ini..