Rabu, 02 Januari 2019

Sepertiga Setahun Kemarin "Menjelang Akhir Internship"

Assalamualaikuum!

Wah, sudah setahun saya tidak menulis blog. Sepertinya sudah semakin kaku tangan dan jiwa ini untuk menuliskan isi pikir. Salah satu revolusi (why? salah kali! bukannya resolusi?) 2019 saya adalah kembali menulis. Senangnya ketika kembali menulis adalah saat menumpahkan cerita hari ini, atau hari-hari sebelumnya, dan menjadi kenangan yang membahagiakan ketika membacanya kembali. Baik itu kenangan yang sedih atau kenangan yang menyenangkan. Eh, kenapa kenangan yang sedih malah membahagiakan? Karena hatiku senang, aku sudah pernah dan mampu melalui masa terberat dalam hidupku! 😊                                                                                                           

Oiya sekedar informasi, aisyah sudah hampir selesai melewati fase internship! Hehe, loh sudah selesai tho koasnya?! Iya dong! Kemana ajaaaa...

Iya, gara-gara nggak pernah nulis jadi begini deh. Maafkan aku blogku.. Sesungguhnya ini sedang minta maaf kepada diri sendiri, karena jadinya tidak pernah ada momen yang diingat dan direfleksikan melalui tulisan selama beberapa tahun terakhir. Bagaimana deg2annya menghadapi ujian akhir menjadi dokter, dan masa-masa menunggu sebelum akhirnya internship, dan sekarang tiba di masa internship sudah mendekati usai. 

Baiknya aku mulai dari mana dulu? Tujuannya adalah untuk mencatat memori yang lalu dan pernah dialami, jadi nggak sepi amat hidupku ini, udah ngga pernah baca, nulis pun nggak pernah 😕

Yaa di masa internship yang tadinya aku nggak berharap ini ada, lalu kini berubah menjadi rasa terimakasih, karena ternyata pengalaman yang cukup banyak muncul ketika fase ini. Menghadapi hiruk pikuk tanggung jawab dunia kerja yang mulai terasa nyata.

Jadi masa internship itu akan dijalani selama 1 tahun, dan akan dialami oleh semua dokter umum fresh graduate. Ndak tau sih kalo ada yang ndak ngalamin, tapi setahuku peraturannya kita harus melewati itu dulu untuk selanjutnya menjadi 'dokter beneran'. Loh sekarang nggak dokter beneran tho? Hmm, selama internship kita belum dapat STR (Surat Tanda Registrasi) definitif, namun dapat STR internship, yang menandakan kita masih internship. Lalu selain itu, kita baru dapat SIP (Surat Izin Praktek) di dua tempat khusus kita internship, jadi kita belum boleh praktek selain di dua tempat internship kita. Jadi menurut temen-temen gimana tuh? Dokter beneran nggak?

Nah kita dapat dua tempat praktek itu di mana saja? Jadi selama 1 tahun internship, kita akan mengalami 3 stase, yang pertama IGD, bangsal (rawat inap), dan puskesmas. Untuk urutannya bisa diputar-putar, karena tergantung dengan kelompok internship, jadi satu gelombang internship (kita singkat aja jadi iship yaa) akan dibagi 3 kelompok untuk mengisi rotasi 3 bagian tersebut. Mari kita mulai cerita dari sudut pandangku yaa.

Aku kebagian rotasi pertama di rawat inap, alias bangsal. Selama 4 bulan pertama internship, kami (aku dan rekan sekelompok) akan ditugaskan berjaga di ruangan rawat inap. Kami bertanggung jawab untuk mengatasi kegawatan atau keluhan-keluhan pasien yang sudah 'turun' ke ruangan, pasien-pasien ini bisa berasal dari mana saja. Bisa dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) atau dari poliklinik spesialis. Nggak seperti di sinetron-sinetron atau drama 'bilang aja putus' (nama samaran) yang masuk rumah sakit tiba-tiba langsung masuk ke ruangan rawat inap, sudah diinfus dan bla-bla. Atau positive thinking aja yaa, mereka skip episode pas di IGD-nya (rata-rata karena kecelakaan atau pingsan). 

Banyak hal yang dilalui, mulai dari desas-desus kamar jaga dokter adalah bekas ruangan rawat inap yang horor. Tapi, selama di sana sih, tidak kutemui adanya kebenaran dari desas desus itu. Alhamdulillah tidur nyenyak, meskipun kadang harus siap bangun malam jika ada telepon dari ruangan rawat inap. Kalau dari segi kasus medis, yaa, banyak hal yang aku dapat selama menjalani tugas di sini. Mulai dari kegawatan karena ada pasien yang henti nafas, apalagi malam hari, dan harus siap-siap tenaga untuk resusitasi jantung dan paru, dalam rangka mengembalikan fungsi tubuh dari pasien itu agar tetap hidup. Yaa, nggak jarang juga berakhir dengan sedih, karena kehendak Allah yang kemudian terjadi. Bagaimana melatih diri memberikan "bad news" kepada pasien dengan cara yang baik, namun juga tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk. Kita hanya menjanjikan upaya yang maksimal, sisanya, tetap Allah yang menentukan. 

Nggak cuma kasus medis sih yang menarik. Kadang ada kasus psikiatris yang memang cukup menyedihkan, dan kadang membuatku sebagai pihak ketiga merasa iba. Di tempat kami iship, istilah gangguan jiwa bagi para warga adalah istilah yang sangat tabu, dan bisa jadi membuat hilangnya trust dari keluarga kepada para tenaga medis. Keluarga pasien bisa akan sangat marah ketika tahu bahwa pasien ini direkomendasikan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater. Padahal sebenarnya pada dasarnya mungkin pasien ini butuh konseling untuk kesehatan jiwanya. Oiya, gangguan jiwa bukan semata-mata hanya berputar pada gangguan jiwa yang oleh orang awam kadang disebut sebagai 'gila', di dunia medis, bisa kita sebut skizofrenia, di mana ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis seseorang dengan gangguan jiwa macam ini. Gangguan kecemasan berlebih, gangguan penyesuaian diri, juga termasuk gangguan jiwa loh, eh tapi ini kita bahas di lain kesempatan aja yaah.

Yang ingin aku bahas untuk pembahasan kali ini adalah sepertiga waktu selama setahun kemarin. Menjalani hari-hari yang cukup stressful, karena pada akhirnya bruxismku kembali kambuh. Duh-duh apa itu bruxism? Bisa baca di sini yaa, belum sempat jelasin hihi.

Namun, di sini, aku ternyata belajar banyak. Menjadi dokter itu nggak semudah bayangan. Ada banyak aspek yang perlu dipelajari, yang tidak hanya berkaitan dengan ilmu saja, tapi berkaitan dengan aktualisasi diri ke masyarakat. Ada kasus lain yang menarik. Ada seorang anak usia 13 tahun, mengalami kejang. Lalu kemudian singkat cerita, aku menduga anak ini mengalami epilepsi. Namun, demi pemeriksaan lebih lanjut, pasien ini perlu dirujuk ke dokter spesialis saraf, untuk pemeriksaan penunjang, misalnya elektroensefalografi atau EEG untuk memeriksa gelombang otaknya. Namun si ibu bersikeras untuk membawa anaknya ke paranormal, karena beliau merasa anaknya ini 'ketempelan'. Dari sekian banyak pemeriksaan yang aku dapati memang ada kelainan dari segi medis, jadinya kubujuk ibu ini untuk tetap menjalani proses medis dalam mengobati anaknya. Dan pada akhirnya, ibu ini setuju untuk menjalani proses tersebut, alhamdulillah.

Belajar banyak hal untuk tetap memberi pasien informasi yang berhak pasien ketahui, agar bisa mengambil keputusan yang logis, dan sesuai dengan kebutuhan pasien, bukan kebutuhan dokter saja. Duuh acak adut ya tulisankuu... Tapi nggak papa ais, besok-besok perbaiki lagi ya. Mungkin 30 hari bercerita bisa jadi titik tolak memperbaiki blog ini. Tetap semangat menulis, Ais!                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

need your support :)