Bismillahirrahmanirrahim..
Sekali lagi, kisah galau akan saya ungkapkan di sini. Jika kawan-kawan tahu, hari Senin tanggal 24 Oktober 2016 kemarin merupakan hari Dokter Nasional. Terus, kenapa?
Ya, kemarin diadakan aksi damai oleh Dokter di beberapa wilayah Indonesia, dalam rangka memperingati hari Dokter Nasional ke 66 ini. Inti dari aksi damai ini adalah menolak adanya prodi DLP (Dokter Layanan Primer).
Lalu apa sih, DLP ini? Dari penjelasan beberapa orang yang saya dengar, DLP ini adalah program pendidikan dokter berkelanjutan yang setara dengan spesialis, yang akan ditempuh selama 2 tahun, setelah seseorang lulus dari pendidikan profesi dokter umum dan sudah melalui program internship. Lalu, apakah DLP ini merupakan salah satu bentuk spesialis?
Menurut UU no 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran pasal 8 ayat 3, Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.”
Berdasarkan pengakuan dari Wamenkes, Prof. Dr. Dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc.,Ph.D., hadirnya dokter spesialis layanan primer pada lini pertama BPJS Kesehatan diharap dapat mematangkan kembali para dokter umum dalam peranannya sebagai dokter keluarga. Dokter layanan primer dianggap bisa menjawab tantangan di dunia kesehatan masa mendatang sehingga proses rujukan dari dokter umum ke dokter spesialis menjadi lebih terstruktur.
Apa sih bedanya DLP dengan dokter umum? Kompetensi DLP ini akan lebih tinggi dibandingkan dokter umum biasa. Okay, jadi seperti ini, semua dokter umum memiliki standar minimal kompetensi yang harus dikuasai, di mana standar ini tercantum di SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia), oya, ini ada beberapa perbedaan, contohnya saya ambil dari materi sosialisasi DLP
diambil dari http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/pusat2_v1/wp-content/uploads/2015/12/Materi-sosialisasi-DLP-Kabadan-PPSDM.pdf |
Nggak ngerti ya? Saya juga haha oke, intinya, DLP harus mampu menguasai kasus-kasus tersebut, yang jika kasus ini dihadapi oleh para dokter umum, maka mereka akan merujuknya ke dokter dengan kompetensi yang lebih tinggi.
Lalu, wajibkah semua dokter mengikuti program DLP ini? Kalau saya tidak salah dengar, tempo hari sempat ada diskusi panel dengan Prof. Dr. Dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc.,Ph.D di kampus saya, dan beliau mengatakan bahwa, program ini tidak wajib, melainkan 'pilihan'.
diambil dari http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/pusat2_v1/wp-content/uploads/2015/12/Materi-sosialisasi-DLP-Kabadan-PPSDM.pdf |
Fiuuh.. Hanya pilihan saja kok, nggak wajib. Kalau wajib, bisa kewalahan kita, sekolah mulu, kapan prakteknya? Bisa dilihat dari bagan di atas ya, pada era pendidikan kedokteran saat ini, untuk jadi dokter umum saja, sudah menghabiskan waktu 7 tahun... Horor ngga seeeh? Ini lebih horor dibanding kisah dosen Gaib yang kakinya nggak napak di tanah *cry*
Daaaan, yang lebih horor lagi adalah.. Ketika era DLP ini suatu saat 'mau tidak mau' menyingkirkan para dokter-dokter umum yang sudah menghabiskan 7 tahun dalam hidupnya untuk belajar, dan masih 'dianggap' kurang kompeten. Sedih nggak sih... Apalagi, nantinya dokter yang bisa bekerja sama dengan BPJS ini adalah DLP.
Yaaa sama saja sih.. dokter umum akan tergerus zaman, dan entah bagaimana akan bertahan.. Saya sebagai koas biasa saja (yang nggak pinter2 amat, dan nggak ngerti nasib saya ketika jadi dokter nanti akan gimana) merasa sedih dengan kenyataan ini. Mau tahu yang lebih sedih lagi?
Dua hari lalu saya ngobrol dengan kakak tingkat yang sudah disumpah dokter. Beliau memulai pendidikan sarjana Kedokteran mulai tahun 2010, 4 tahun kemudian, tepatnya bulan September 2014 mulai menjalani kehidupan koas, hingga sekitar bulan Juli 2016. Oke, habis sudah 6 tahun yaa. Selanjutnya, bulan Agustus 2016, beliau mengikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia, di mana hasil kelulusan diumumkan satu bulan kemudian, yakni bulan September 2016. Alhamdulillah lulus one shoot, bulan Oktober beliau di sumpah sebagai seorang Dokter Umum. Waaah, udah lulus, udah bisa praktek dooong? Tunggu duluu.. Kan masih ada internship 1 tahun.. Waah, selanjutnya bisa internship terus bisa praktek dooong? Tunggu dulu.. Antrian internship itu juga lama.. Kalau di sumpah bulan Oktober, maka akan Wisuda Dokter bulan Desember, terus baru bisa internship bulan Februari. Haaaaah lama bangeeeet! Jadi jarak antara sumpah dengan internship bisa hampir setengah tahun!
Oke, jalur ini hampir mirip dengan yang akan saya lalui. Intinya, tahun Februari 2018 saya baru bisa internship, dan selesai jadi dokter umum tahun 2019. Ya Allah, merinding nggak sih.. Mending saya teriak-teriak liat brankar jalan sendiri daripada begini!
Ini kalo sekarang saya hamil, sampai nanti jadi dokter umum yang sudah dapat SIP dan STR (artinya sudah bisa praktek) anak saya udah bisa jalan, udah bisa ngapa-ngapaiin, atau mungkin udah masuks SD hiks hiks... Tapi... Ais.. kamu belum bisa beli susu buat anakmu loooh.. mau dikasih makan apaa? rumpuuut?
Tak tahulah, mau dibawa ke mana.. Ada yang mau usul? Sekolah terus atau.. Yaudah belajar dulu sana, ini tugas dari kemarin ngga jadi-jadii *crying on the shower*
Ndang Rabi waee, rejeki wis ono sing ngatur hihihihi
BalasHapus