Kujawab dulu pertanyaan kedua, hmm, sebenarnya banyak sekolah yang lebih dekat dengan rumahku, dan salah satunya ada mantan SD-ku dulu. Lalu, kenapa tidak di sana saja? Seiring dengan bacaan ini, juga akan jelas kok, kenapa adikku memilih sekolah yang sangat jauh itu.
Pagi itu, aku dan ibuku sudah bersiap-siap untuk segera tancap ke sekolah adikku. Adikku sendiri sudah berada di sana sejak hari Minggu. Mau bantu-bantu katanya, menyiapkan tratak, sapu-sapu, dan lain-lain. Adikku menginap di asrama yang dikhususkan untuk para murid yang rumahnya jauh, dan cuma akan dapat capek kalo wira-wiri rumah-sekolah. Tuh kan, ternyata banyak yang senasib dengan adikku, tetapi mereka lebih memilih menginap di asrama yang disediakan. Lalu kenapa mereka juga memilih bersekolah di tempat yang jauh??
Pukul 7.30, kami menunggu bis yang akan mengantar kami ke sekolah adikku. Jangan bayangkan kami akan naik bis yang ber-AC dan ada monitornya di masing-masing kursi ya, hehe, maklum di desa. Kami harus naik bis ekonomi, yang berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Apalagi jika pagi hari, kami harus rebutan tempat dengan bakul yang dibawa oleh para penjual yang baru kulakan dari pasar. Bercampur bau gorengan, asap rokok bapak perantau, serta suara-suara cerewet para ibu penjual yang tengah ‘ngerumpi’ di bis. Dan, bayangkan lagi, adikku harus berhadapan dengan situasi tersebut setiap hari. Sekali lagi, luar biasa ya? Hehehe.
Setelah lebih dari setengah jam menunggu, bis keong itu akhirnya datang juga. Kenapa bis keong? Jalannya itu loh, Astaghfirullah.. kecepatannya kurang dari 20 km/jam sepertinya. Lalu kapan kami bisa sampai di sekolah adikku?? Kamipun tetap naik ke bis itu. Masih untung, Alhamdulillah, aku dan ibuku dapat tempat duduk, di bagian depan, dekat sang sopir. Meskipun aku dan ibuku tidak duduk bersebelahan, karena tempat duduk yang kosong hanya kursi sebelah. Jadi, aku dan ibuku duduk depan-belakang. Tapi, beruntungnya ibuku duduk di sebelah seorang perempuan yang ternyata adalah kenalan beliau. Sedangkan aku? Aku duduk di sebelah mas-mas perantau yang tengah memangku tas besar dan mengenakan jaket kulit. Bukan masalah sebenarnya, tetapi tiba tiba datang penumpang, yakni dua bapak-bapak yang duduk di sebelahku. Kok bisa? Namanya juga bis ekonomi, karena aku duduk di bagian depan, jadi ada jalan di tengah antara tempat dudukku dengan kursi sebelahnya, dan tidak dijadikan lalu-lalang penumpang -kecuali yang duduk paling depan jika mau turun- yang tepat disitu juga ditaruh jok. Jadilah aku diapit pria-pria berjaket gelap yang membawa barang-barang berat di pangkuan mereka.
Jalanan sepi, tetapi bis berjalan sangat lambat. Jadi ingat pepatah yang sering dikatakan para sopir transportasi umum, “ANDA butuh WAKTU, KAMI butuh UANG!” dasar, jadinya kita yang rugi kan. Pantas saja banyak orang yang lebih memilih transportasi pribadi, karena banyak sarana transportasi umum yang suka seenaknya sendiri. Kulihat jam tangan, sudah pukul 8.20. Tetapi, kami masih sangat jauh dari tujuan kami. Kalau bis ini jalannya masih seperti ini, mungkin kami akan terlambat sampai di acara adikku itu. Terkantuk-kantuk aku naik bis yang lelet ini. Aku tak berani memejamkan mata, karena aku diapit 3 pria. Mana bis ini selalu oleng ke kanan-kiri lagi, yah, karena kami tengah menuruni jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Hampir aku mabuk darat dibuatnya. Tetapi, mataku, selalu mengarah untuk menutup, tak kuat menahan gravitasi.
Bis ini semakin melambat bahkan berhenti. Pemberhentian pertama (selain menurunkan penumpang dan menaikkan tentunya) karena harus berganti sopir. Yang kedua, ternyata ada salah satu jalan ambles. Di mana kami harus bergantian dengan kendaraan dari jalur sebaliknya untuk melewati jalan tersebut. Di sebelah jalan ambles itu ada JURANG yang entah seberapa kedalamannya. Sekali lagi, bayangkan! Adikku harus melewati jalan yang mengancam jiwa itu setiap hari. Apalagi sekarang sedang musim hujan, yang kadang membuat jalan licin. Dan asal tahu saja, di samping jalan yang lainnya adalah hutan yang terdapat satwa dilindungi di dalamnya, antara lain, macan, yang kapan saja siap turun ke jalan raya, hmmm.
Sambil miring ke kiri-kanan, mataku pun terpejam. Aku TIDUR. Huuah, kebiasaan burukku ini memang tak bisa hilang. Hobi banget sama yang namanya tidur. Kata teman, aku ini ‘PELOR’, begitu nempel, langsung molor. Dimanapun itu, kalau kepalaku sudah nyaman, tiba-tiba dari ujung rambut hingga kaki pun ikut-ikutan nyaman. Kalau sudah begitu, jadilah aku tertidur.
Sambil miring ke kiri-kanan, mataku pun terpejam. Aku TIDUR. Huuah, kebiasaan burukku ini memang tak bisa hilang. Hobi banget sama yang namanya tidur. Kata teman, aku ini ‘PELOR’, begitu nempel, langsung molor. Dimanapun itu, kalau kepalaku sudah nyaman, tiba-tiba dari ujung rambut hingga kaki pun ikut-ikutan nyaman. Kalau sudah begitu, jadilah aku tertidur.
Tiba-tiba ada guncangan. Kupikir ada sesuatu yang buruk terjadi. Tetapi, ternyata, “Ayo nduk, siap-siap, udah hampir sampai.”
Hmm, kulihat jalan, sepertinya ini masih jauh dari sekolah adikku. Benar, akhirnya aku harus berdiri tergencet dalam waktu cukup lama, semakin tergencet karena banyak penumpang yang naik. Karena aku dan ibuku hendak turun, jadi kami berada di dekat pintu. Naasnya, ternyata banyak penumpang yang menyetop bis ini. Alhasil banyak yang bergelantungan di pintu, aku jadi merasa bersalah. Tetapi, akhirnya, kami sampailah di tempat tujuan.
Setibanya di sana, ada beberapa orang berpakaian seragam polisi. Kupikir akan ada acara karnaval, tetapi ternyata, lebih dari itu...
to be continued :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
need your support :)