Sabtu, 30 Mei 2015

Membersamai Kesendirian


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

Saya akan mulai topik ini dari rasa lapar. Rasa lapar adalah suatu nikmat, nikmat ketika kita bisa menghabiskan waktu bersama sahabat sambil bercengkrama saat makanan tengah tersaji. Rasa lapar adalah suatu nikmat, ketika kita bisa bersama dengan keluarga, menghabiskan menu sarapan, sembari bercerita rencana indah hari ini.

Ada suatu kisah menarik tentang rasa lapar, yang pernah saya alami. Lalu apa hubungannya lapar dengan kesendirian?
“Eh, makan yuk? Aku belum makan dari pagi… Kamu kosong kan?” Kebiasaan anak kos-kosan yang malas sarapan, dan sering membuat perut harus menahan lapar hingga siang.
“Duh, aku mau ketemu sama dosen, nih, jam 1. Kayaknya ngga cukup waktu deh, kalo makan dulu. Sama yang lain aja yaaa. Maafin.” Sesaat kemudian saya mencari orang lain yang bisa saya ajak. Belum lapar lah, baru saja makanlah, ngantuklah, dan lain-lain. Jawaban dengan alasan yang bervariasi  –namun merujuk pada satu konklusi yang sama, tak ada teman makan- membuat saya harus berpikir siapa lagi yang akan saya ajak. Alhasil, hari itu, karena rasa lapar yang amat sangat, saya putuskan untuk makan sendiri.

Di sinilah letak hubungan rasa lapar dengan kesendirian. Ya,  yang lapar kan perut saya sendiri, lalu kenapa saya harus bergantung dengan perut orang lain untuk memuaskan nafsu makan saya? Ya, kalaupun ada yang sama-sama lapar, tentu tak masalah. Saya tentu beruntung ada yang bersedia menemani.

Saya tambahin plot twist deh, biar agak rame hehe. Saya ini kalo lapar punya kecenderungan untuk vertigo, atau perasaan pusing berputar-putar. Kalo sudah berputar, mata pun ikut berkunang-kunang. Nah, ketika sampai di tempat makan, saya langsung memanggil mas-mas karyawan. Khawatir saya dilewatin, dan nggak segera dikasih menu. Oya, karyawan di situ ada yang statusnya masih trainee, ada yang sudah tetap. Karyawan tetap memakai baju ijo, seragam khas tempat makan itu, sedangkan karyawan trainee memakai baju putih bawahan hitam.

“Mas.. Mas? Mas..?”  Saya panggil salah satu mas-mas yang lewat. Masnya memang menggunakan kostum  yang sama dengan karyawan trainee di sana, padanan kemeja putih dan celana hitam. tetapi, anehnya, mas=mas tersebut tidak segera menanggapi saya, sampai saat masnya sudah mau naik ke tangga menuju lantai 2, saya teriak. “Masss!” Saat itu masnya terbengong-bengong melihat saya.
“I..i..iya, kenapa mbak?” Masnya berhenti sejenak.
“Saya belum pesen!” agak saya kerasin suaranya, karena masnya sudah ditengah-tengah tangga, khawatir nggak denger.
“Sa..sa..saya juga lagi makan di sini, mbak…” DEG! Maluuuuu. Saat itu seakan semua pengunjung melihat ke arah saya, dan di dalam hatinya sedang tertawa terbahak. “Cieeh, malu nih, ye.”
Saat itu, saya belum pesan, dan tentu belum selesai makan. Nggak mungkin kan saya pulang meninggalkan tempat itu, tetapi perut saya belum terisi? Mungkin, jika saat itu saya nggak sendiri, rasa malu yang saya rasakan nggak akan begitu besar. Tapi, saat itu… Muka saya langsung panas, gerah, dan tetiba vertigo saya hilang…..
Oke, saat itu ego saya bilang, bodo amat. Setiap orang pernah merasa malu di dalam hidupnya, setidaknya sekali seumur hidup. Saya sering kok melakukan hal-hal yang memalukan. Saat ini, yang cukup membedakan adalah mengenai momen kesendirian saya saat itu, yang terekspos oleh banyak orang.
“Waah, malu, tuh. Mana sendirian lagi makannya. Kesian”; “Yaampun, aku mending pulang deh kalo jadi mbaknya itu.” Sepertinya itu kalimat-kalimat yang akan berputar di kepala mereka. Yaudah gapapa aiiisss~~. Ya, kesendirian bagi beberapa orang membuat tidak nyaman. Eh, maksud saya, terlihat sendiri. Makan siang di tempat umum sendiri, berkunjung ke book fair sendiri, atau belanja bulanan sendiri, kadang terlihat begitu menyesakkan bagi orang yang ‘menyaksikan’.

Kata Dinda, 
“Jangan mengukur kebahagiaan seseorang dengan ukuran yang kita miliki. Setiap orang punya ukuran yang berbeda.” 
Ya, menurut saya, sendiri ketika di tempat umum, tidak masalah. Kadang yang tersirat, di kepala orang lain adalah, “Emang dia nggak punya temen, apa? Sampe ke sini aja sendirian.” Yaa, jangan ukur mereka seperti kau mengukur dirimu sendiri sih. Barangkali mereka memang nyaman, dan bahagia ketika sendiri. Pun mungkin mereka punya alasan, kadang sih alasan saya adalah takut teman saya ada urusan lagi setelah kita pergi bersama, sedangkan saya masih ingin berlama-lama di tempat itu, ataupun sebaliknya.
Banyak hal yang berkontribusi dalam mindset, ‘jangan ke mana-mana sendiri’ ini. Misalnyaa…
  1. Dibilang jomblo ngenes. Ya, sedih sih kalo dibilang jomblo ngenes. Loh, is, katanya kita harus bangga kalo jomblo. Iya sih, jomblo, tapi nggak ngenes juga kali. Saya mah bahagia bahagia aja.
  2. Dibilang ngga punya temen. Nah ini, yang kadang menyesakkan. Kadang kita dianggap weird  kalau ke mana-mana sendiri. Ya, tanpa banyak kasih contoh, tentu kalian sudah pernah menge-judge orang yang kayak gini, meskipun tanpa sengaja.

Ada yang mau nambahin? Ini sih beberapa yang saya rangkum (tapi cuma 2, hahaha) dari pendapat teman-teman.
Masalah kesendirian ini juga terkait dengan hubungan, ataupun persahabatan. Kalo kata Pak Paulo Coelho, “When you say yes to others, make sure you are not saying no to yourself.” Oke, di sini saya tidak menekankan bahwa setiap manusia butuh waktu untuk sendiri. Semua orang sudah tahu akan hal itu. Sekarang saya ingin menghubungkan ini dengan permasalahan pertemanan. Terkadang, pertemanan atau persahabatan (selanjutnya saya sebut sebagai persahabatan) memang mengizinkan kita untuk memiliki waktu untuk kita sendiri. Tetapi, apakah semua persahabatan sudah menyiapkan kita untuk bisa hidup sendiri?

Persahabatan yang baik adalah persahabatan yang tidak membuatmu bergantung pada sahabat-sahabatmu pada setiap waktu. Jika kamu selalu membutuhkan mereka setiap saat, barangkali persahabatanmu sudah tidak sehat. Memang, sahabat yang baik, adalah sahabat yang selalu ada setiap kita butuh. Tetapi, apakah mereka sudah pasti akan selalu ada sampai kita mati? Tidak mungkin kan mereka memiliki nasib yang sama persis seperti kita?

Siapkan sahabatmu untuk menjadi kuat, bukan menjadi pribadi yang dependen akan keberadaan orang lain. Menurut saya (dan Dinda selepas diskusi masalah ini), menjadi sahabat yang baik adalah sahabat yang menyiapkan sahabatnya untuk mampu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan tangannya sendiri. Sahabatnya yang menyenangkan adalah yang sudah mempersiapkan sahabatnya untuk membersamai kesendirian. Selamat malaaaam, eh pagiii :)

Eh, saya masih hutang postingan bersambung yaa. Hehehe :D

2 komentar:

  1. wekeke, aku juga sering salah mengira. Pernah lg belanja di duta mode, aku pikir org yg lg ddk mojok itu pegawainya. Aku tanyain baju bayi sebelah mana, eh dy bilang dy bkn pegawainya,buahaha, malu bgt

    BalasHapus
  2. Juvmom: Iyaaaa haha, malu banget ya maaak, kalau kejadiaan seperti ini :)

    BalasHapus

need your support :)