Rabu, 29 Juli 2015

Singkat Cerita tentang Membagi Cinta

Assalamu'alaikum, setelah sekian lama nggak menulis, yeah, I'm back!

Entah kenapa, menulis selalu menyenangkan setiap jam-jam segini. Ohya, pada tulisan ini saya akan membahas tentang film yang tengah booming di kalangan muslimah. Surga yang Tak Dirindukan.

Saya termasuk salah satu penikmat karya dari Asma Nadia, penulis novel yang berjudul Surga yang Tak Dirindukan ini. Saya pernah mendengar bahwa sebenarnya novel ini merupakan cerbung yang pernah dimuat di majalah UMMI sekian tahun lalu, namun dengan judul berbeda, Istana Kedua. Pantesan, saya kayak pernah mengenal tokoh Arini dan Pras. Dulu saya suka nyolong  minjem majalah UMMI punya ibu saya, dan baca kisah ini sampai tamat. Waktu itu saya masih SD atau SMP gitu. Harusnya kan saya baca rubrik anak-anak ya (FYI, di majalah UMMI ini ada rubrik untuk anak-anak, yang halamannya berwarna, dan ada tokoh komik yang namanya Habib dan Hilwa). Kalau saya sudah tamat baca rubrik anak-anak, jadi iseng mbleber ke rubrik yang lain, hahaha.

Barusan aja, saya memutuskan untuk nonton filmnya di bioskop sama Fathia. Kebetulan saya juga baru baca novel Surga yang Tak Dirindukan ini. Loh, katanya dulu udah baca sampai tamat? Ya, dulu saya kan masih unyu-unyu, mana ngerti masalah poligami yang menjadi pokok cerita dari kisah ini. 

Mas, poligami ki uopo tho? (Mas, poligami apaan sih?)
Mosok kowe rak ngerti tho? Kae lho poligami. (Kamu nggak ngerti poligami? Itu lho poligami.) 
Kemudian masnya menunjuk sepeda. Merknya, Polygoni. hahaha. epic.

Cuplikan di atas adalah salah satu dialog mas-mas pekerja bangunan (staffnya Pras, ohya, Prasetya ini ceritanya seorang arsitek), yang konyol banget. Haha, lumayan lah, sebelum adegan menguras air mata pada saat nonton film ini.

Seperti biasa, buku dan film terkadang memiliki kisah yang agak sedikit berbeda, meskipun inti cerita sama. Beberapa hal di film memang diubah untuk kepentingan cerita agar lebih hemat waktu, namun pesan yang ingin disampaikan tetap ada. Ohya, saya ini jarang-jarang nonton film di bioskop, tapi karena momennya abis baca buku ini dan rasanya ikut merasakan emosi yang dialami Arini akibat poligami, saya jadi pengen melihat bentuk interpretasinya di film. Ais nangis nggak? Seperti biasa, karena saya cengeng, yaaaa gituuuu deeeeeh.

Pada saat saya membaca bukunya, lumayan sih, emosi saya agak terpancing. Betapa menyedihkannya menjadi Arini karena merasa dirinya dikhianati oleh suami. Ia merasa kalau Pras ini sudah tidak mencintainya lagi, karena dirinya merasa sudah tidak secantik dulu, dan lain-lain. Tapi di film, agak sedikit berbeda, yang saya tangkap sih, Arini merasa dikhianati saja, titik. Nggak ada tuh yang namanya dialog dalam hati si Arini yang bilang, "Apa mas Pras sudah tidak mencintaiku lagi? Sehingga ia mencari Permaisuri yang lain?" Sambil zoom in zoom out. Atau kalaupun ada, berarti saya yang nyekip. Saya terlalu menikmati krupuk rambak yang saya bawa dari luar. Ais, di bioskop kan nggak boleh bawa jajan dari luar! Iya sih, tapi krupuk rambaknya enaak.....

Kalau dari buku, saya mengambil banyak hikmah, di antaranya
1. Kalau ingin suami setia, ya cobalah selalu tampil prima di depan suami. Inilah yang selalu menjadi beban Arini versi novel. Arini versi novel ini anaknya udah mbrojol tiga, tapi kalau di film anaknya cuma 1.  
2. Apa iya kalau mau menolong orang lain harus menikahinya? Kan bisa sedekah, zakat, atau apapun itu. Kenapa harus dinikahi? Ini salah satu pokok yang ditonjolkan oleh Asma Nadia. Pada kisah ini, Pras memang menolong seorang Mei Rose dengan menikahinya. Tetapi, gejolak perasaan wanita yang merasa dikhianati, itu begitu menyakitkan... Intinya sih belajar ikhlas dan sabar itu sulit.
3. Belajar Islam itu, jangan sebagian. Kalau ngaku Islam, ya jangan mengamalkan sesuatu yang kamu senangi saja, harus kaffah. Salah satu contoh di sini adalah adegan Pras dan teman-temannya menyuplik ayat tentang poligami. Hayo, yang punya Al-quran dibuka cobaaak. Kata Hartono, "Am, kalau baca Al-Quran itu ya dibaca ayat selanjutnya, jangan enaknya doang yang kamu ambil. Pahami juga konsekuensi dan syaratnya!" Kurang lebih begitu, kata Hartono kepada Amran. Coba buka An-Nisa : 128-129.
4. Kalau hati gundah dan galau, dekati Penciptamu!

Sebenarnya masih banyak sih mungkin hikmah untuk para penonton yang lain. Hanya saja, film ini masih memiliki kekurangan di beberapa hal, di antaranya tentang interaksi pemain yang bukan mahram. Ceritanya kan ini film Islami, jadi yaa, saya harap sih seminimal mungkin adegan-adegan yang biasanya ada di film-film lain. Semula sih berharap bisa kayak KCB, yang miniiiiim sekali adegan pelukan-pelukan yang non-mahram. Itu sih menurut saya untuk filmnya...
Oya, untuk para lelaki, coba pikirkan lagi jika ingin berpoligami... Saya sih (karena belum menikah jadi nggak ngerti-ngerti amat masalah menjaga keharmonisan rumah tangga) berharapnya saya nggak memiliki nasib seperti Arini.....

Eh, udah dulu deh, mau istirahat, besok kan harus beraktivitas :)

Sabtu, 25 Juli 2015

Cerpen : Pertemuan

Assalamu'alaikum.
Ini adalah kelanjutan dari Cerpen : Menciptakan Kehilangan, karena ada beberapa yang minta cerita ini dilanjutkan. Entah, ini jadinya cerbung atau tetap cerpen. Masih sederhana, karena menulis cerita itu sulit. Selamat Menikmati :)

***

Mata Lesa masih saja terpaku pada naskah yang kini ia pegang. Penuh dengan coretan, tapi ia tak sepenuhnya percaya diri dengan hasil pekerjaannya. Lesa menyerah. Akhirnya Ia memutuskan beranjak dari tempat duduknya. Berjalan-jalan.

"Mbak Astri, keluar yuk." Pinta Lesa, sebagai junior, Ia memang terkenal manja. Tapi, manjanya lihat-lihat orang juga sih. Tak mungkin Ia bermanja pada pimpinan Redaksi. Kali ini Ia bermanja pada Astri, perempuan yang tengah menikmati es buah yang Ia beli di depan kantor.

"Les, aku barusan aja keluar nih. Lagian abis ini aku juga mau ketemu sama klien." Astri ini salah satu layouter di kantor tempat Lesa bekerja, "Mau ngomongin hal penting nih."

"Yaudah deh mbak. Mbak, kalo nanti chief nyariin aku, bilang ya mbak, aku lagi mau refresh otak dulu. Pening pala adek." Ia berpamitan. 

"Les, mau ke mana?" Sekali lagi, entah keberapa kali, Lesa kembali dikagetkan oleh Dika. 
"Diiiiiiik! Bikin kaget terus sih lau!"
"Hei, kamu tuh ya, sama senior bukannya menghormati malah panggil nama. Panggil kakak kek, abang, mas, apa kek gitu." Dika melirik Astri meminta persetujuan, sebenarnya lebih tepat mencari pembela. Belakangan Dika memang selalu dipanggil nama saja oleh Lesa. Tapi setiap Ia membela diri di depan Lesa, Ia selalu kalah, karena kemampuan Lesa menyerang balik melebihi kemampuannya. 

"Iya deh. Ka." Lesa menjawab protes itu dengan lesu. Dika membatin, kok begini aja sih, responnya. Tak keburu Ia membalas jawaban Lesa, gadis itu sudah berbalik menuju pintu keluar. Ia masih lesu hingga dia berpapasan dengan lelaki yang menghalangi jalannya. Ia ke kiri, lelaki itu ke arah yang sama ia minggir. Begitu berlangsung hingga dua kali.

"Eh, maaf mbak." Lelaki itu menyunggingkan senyum sambil berlalu setelah akhirnya Lesa tetap berdiri di tengah, mempersilakan lelaki itu. Lesa kemudian kembali berbalik, mengamati lelaki itu yang ternyata menyapa Astri. Oh, sepertinya lelaki itulah yang dimaksud klien oleh Astri.

Di luar kantor, Lesa tak menemukan apa-apa. Gadis berambut pendek itu pun kembali lagi menuju mejanya. Setumpuk fotokopian naskah yang harus ia periksa ejaan, bahkan susunan kalimatnya menanti. Minggu ini deadline untuk segera menyelesaikan tugas itu. Sebenarnya saat ini ia masih dalam proses belajar menyunting naskah. Toh, nanti naskah itu akan tetap diperiksa kembali oleh editor senior, apakah sudah layak terbit atau belum. Naskah itu pun akan mengalami nasib yang sama, difotokopi kembali, untuk kemudian dicoret sana-sini.

"Kamu pernah ketemu langsung sama Bung Tegar, Les? Bukannya editor itu harus ketemu sama penulisnya dan membahas perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada tulisannya?" Lamunan Lesa melayang pada percakapannya dengan Dika tiga hari lalu. Pada saat itu pula, gadis itu menyadari bahwa Ia bahkan tak tahu bagaimana wajah penulis naskah dengan genre galau itu.

"Belum, yang suka ketemu itu Teh Pipit, kan aku masih magang Dik, istilahnya. Ini masih latihan buat aku. Kata chief sih begitu. Aku juga nggak merasa perlu ketemu sama orang melankolis macam Tegar." 

"Mungkin kan, kalau kamu ketemu sama orangnya kamu jadi tahu, dia itu tipe yang seperti apa dan pengen tulisannya mengalir seperti apa.."

"Aku kan cuma ngoreksi ejaan sama struktur kalimat, Dik. Eh bukan cuma ding. Itu aja udah bikin aku pusing banget.." Kepeningan itu belum berakhir hingga kini bagi Lesa. 

Ngantuuuk. Aaaw!

"Ah, maaf mas, nggak ngeliat jalan tadi!" Lesa setengah berteriak. Bahunya menyenggol lengan seseorang. Ia bersiap untuk protes jika lelaki itu Dika. Namun, lelaki itu adalah lelaki yang ia temui sebelumnya. Ia pun harus bertatapan kembali dengan  lelaki tersebut. 
  
"Iya, nggak papa, Mbak. Saya juga tadi kurang konsentrasi. Mari, mbak.." Lalu Lesa merasa seperti terbang. Senyuman lelaki itu begitu menenangkan Lesa!

Kamis, 02 Juli 2015

Cerpen : Menciptakan Kehilangan


"Maka sesungguhnya setiap hati pasti merasakan kehilangan. Sebagaimana setiap jiwa pasti merasakan mati. Mungkin kau belum merasakannya, karena kau belum mengetahui bagaimana nikmatnya menemukan."

Berkali Lesa mengernyitkan dahi, dan berujung pada kesebalan. "Kenapa sih itu lagi! Rumit deh. Ntar juga kalau tiba saatnya ketemu!"


"Jodoh lagi ya? Memang puisi dia tak jauh dari tema itu. Puitis kan?" Celetuk Dika, lelaki jangkung yang kini duduk tepat di samping Lesa.

"Dik! Ngagetin aja. Puitis sih puitis, tapi dari 100 naskah, 87 di antaranya melulu tentang itu. Kan bosan!"

"Yaa, dia target pembaca yang dia cari, kan memang usia-usia rentan untuk menikah. Bukannya tulisan dia itu bertujuan untuk menguatkan hati-hati yang merasa kosong karena tak kunjung dapat jodoh?"

"Dika, menguatkan dari mananya? Itu justru membuat pembaca semakin menggebu memikirkan hal itu. Lalu sibuk membayangkan nanti jodohnya seperti apa. Itu justru melemahkan!"


"Tergantung pembacanya dong berarti, Les. Ada yang berusaha menguatkan diri untuk mempersiapkan kedatangan cinta, ada yang persiapannya hanya sampai pada tingkat pikiran, seperti apa yang kau bilang." Dika menyeruput minuman, yang baru Lesa sadari, itu minuman miliknya yang belum sempat Ia minum dari kemarin, "Les, kok aneh sih rasa minumannya."

"Hahaha," Lesa terbahak, "Dik, tergantung peminumnya, kok. Rasanya biasa aja kok, harusnya enak malah. Tapi karena gelas itu aku biarkan dari kemarin, dengan isi yang sama, ya jadinya mungkin seperti apa yang kau rasa."

Dika terbatuk, Ia ingin muntah, tapi belum sempat ia mengomel, Lesa menimpali, "Ya sama seperti tulisan, kalau isinya sama terus nggak ganti-ganti, lama-lama penikmatnya jadi nggak suka."

"Memangnya kamu sudah baca keseluruhan isi naskahnya? Jangan-jangan kamu baca kutipan pengantarnya aja. Kamu kan juga belum minum minuman itu, buktinya masih penuh gelasnya." 

"Dik, nanti juga sembari aku bekerja, aku juga tahu isinya. Tapi dari kutipan pembukanya aja udah begitu, bikin males tau nggak."
"Iya deh, yang udah jomblo 23 tahun, hahaha. Kamu belum pernah mengalami asam garam dunia percintaan sih."

"Dih, situ juga jomblo. Jomblo abis diputusin. Nggak usah sok ngatain deh. Gini-gini aku juga pernah kali suka sama orang, meskipun ujung-ujungnya jadi nggak suka lagi. Males lama-lama. Ohya, biasanya orang-orang kalau habis putus suka belum bisa move on ya? Kenapa sih? kan udah bertekad mau mutusin, kenapa nggak move on? Bilang masih cinta kek, padahal kan konsekuensi dari putus itu kayak..."

"Les!" Dika menepuk pahanya dan bangkit. "Aku mau keluar beli es buah. Kamu sembari mikir deh, apa jawaban dari pertanyaanmu. Okay?" Dika pergi meninggalkan meja kerja Lesa setelah sebelumnya menjentikkan jari kepada gadis yang baru bekerja di kantor itu 3 bulan. Mulutnya pahit setelah ia meminum minuman Lesa yang aneh itu. 
Karena cinta itu aneh, Ia membuat berjuta orang bahagia ketika menemukan. Tapi, ia memberi kesempatan kepada orang-orang itu untuk menciptakan kehilangan. Mereka sendiri yang memutuskan untuk tak lagi bersama, dan mereka-lah yang merelakan diri merasakan pahitnya kehilangan.

Maka, jangan biarkan kau bahagia menemukan namun dengan cara yang salah. Pun berujung pada kebahagiaan, tapi cara yang salah tak pernah dibenarkan. 


"Kenapa kata hubung ada di depan kalimat semua sih......" gerutu Lesa. Ia pun merasa harus membenahi naskah yang baru saja Ia baca.


"Makanya Les, jangan jadi copy editor terus, naik pangkat kek. Tapi tulisan Bung Tegar itu bagus lho." Lesa kaget, tiba-tiba lelaki itu sudah ada di belakangnya, "Tadi penjual es buahnya tutup, jadi ngga bisa beli deh."

"Diik! Ngagetin mulu, kau. Bagus sih, tapi tetep aja menurutku itu melemahkan. Capek aku Dik, ngomongin cinta mulu. Kenapa sih chief ngasih tulisannya yang ini? Huh! Udah ah, aku mau kerja lagi. Bisa-bisa disemprot chief kalo aku tak segera merampungkan tugasku."

Rabu, 01 Juli 2015

Ramadhan #14 Kontrak Persahabatan

Assalamu'alaikum!


temanbercerita.tumblr.com


Belakangan sedang bersedih karena beberapa hal. Coba kalian bayangkan kalau teman yang kalian sayangi memilih untuk melewati jalan yang gelap padahal nyatanya dia sudah ada di jalan yang terang? Hanya karena ketidaksabaran, hanya karena godaan cinta yang tak mampu ia tahan.

Sesungguhnya manusia memang diuji pada titik terlemahnya. Jika Allah memberimu ujian yang serupa dengan ujian yang sebelumnya, itu berarti kau belum lulus pada ujian tersebut. Inilah yang sedang saya hadapi. Hanya bisa diam, tanpa berusaha meluruskan, bahwa apa yang sedang dia pilih untuk Ia jalani, tak sepenuhnya benar. Sudah berkali-kali postingan mengenai hal ini saya post, tapi belum ada solusi. Aisyah yang satu ini memang terlalu mengagungkan sikap ewuh pekewuh.

Sampai sekarang belum menemmukan solusi yang pas. Hingga akhirnya kejadian ini terus berlanjut, dan memakan korban yang cukup banyak. Apa kamu nggak takut kalau nanti di akhirat kamu dimintai tanggung jawab dari temanmu itu? Kalau kata Mas Faidh, "Coba nanti di akhirat, temanmu yang berbuat kesalahan itu dimintai pertanggungjawaban, tapi dia malah nyeletuk, 'Ya Allah, ini terjadi karena si Fulanah tidak mengingatkan aku, kalau itu salah!"